BERGERAK DAN BERGERAK

Archive for September 2007

Gambar di atas rekaman buka puasa bersama, pengurus Yayasan Insani dengan orang

tua murid Playgroup dan TKIT. Mati lampu 😦

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN
(Bagian ke-8)

PERISTIWA HISTORIS DI BULAN RAMADHAN
Bulan ramadhan adalah salah satu bulan yang sangat bernilai historis Dalam Islam, isamping predikatnya sebagai bulan terbaik untuk ibadah puasa dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa historis itu sangat berperan dalam perkembangan Islam dan penyiarannya. Peristiwa-peristiwa itu menjadi renungan yang mendalam pada saat kaum mukminin menunaikan puasa.

Inspirasi dan pengaruh yang dipantulkan oleh peristiwa historis itu selalu memacu semangat kaum muslimin untuk meneruskan risalah Islam ke seluruh alam. Al-Qur’an adalah tuntunan yang membuka jalur-jalur kesuksesan Dan titian menuju kejayaan serta kemuliaan. Itulah awal peristiwa historis dalam bulan ramadhan. Hasil tarbiyah Al-ur’an itu terbukti dalam perang Badar dan perang penaklukan Mekkah.

1. Pengangkatan Muhammad saw. sebagai Rasul dan awal turunnya
Al-Qur’an Ketika Allah swt. hendak memuliakan Muhammad saw. sebagai Rasul dan
Nabi-Nya, setiap kali Rasulullah saw. hendak membuang hajatnya dan Pergi jauh ke padang pasir, hingga berjarak sangat jauh dari pemukiman dan Beliau telah sampai di lembah-lembah Mekkah, tidak ada pohon dan batu pun Yang beliau jumpai, melainkan selalu mengucapkan salam kepada beliau dengan,
ÇáÓáÇã Úáíß íÇ ÑÓæá Çááå

Salam sejahtera atasmu wahai Rasulullah (utusan Allah swt.) kemudian, Rasulullah saw. menengok ke kanan dan ke kiri serta ke belakangnya. Namun, beliau tidak melihat siapa-siapa, yang ada hanyalah pohon dan batu. Hal itu berlangsung beberapa lama, hingga Allah swt. mengutus Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah swt. ketika Rasulullah saw. berada di gua Hira, dengan turunnya lima ayat pertama dari Surah Al-Alaq,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5).

Allah swt. berfirman,
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (Al-Baqarah: 185).

Allah swt. berfirman,
“Haa Miim. Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami Adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad-Dukhan: 1-5)

Allah swt. berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Fajr: 1-5).

2. Perang Badar
Allah swt. berfirman, “….jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, …” (QS. Al-Anfal: 41).
Hari itu adalah hari dimana terjadi pertempuran antara pasukan kaum Muslimin melawan orang-orang musyrik di perang Badar. Peristiwa Perang Badar terjadi pada Jum’at pagi tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Rasulullah saw. keluar bersama para sahabat pada hari Senin, delapan hari setelah Bulan ramadhan masuk.

Rasulullah saw. mengangkat Amru bin Ummu Maktum atau Abdullah bin Ummu Maktum untuk memimpin shalat orang-orang yang ada di Madinah. Setelah sampai di Rauha, Rasulullah saw. memerintahkan Abu Lubabah untuk kembali ke Madinah, dan mengangkatnya sebagai amir selama Rasulullah saw. pergi.

Dalam kisah perang Badar yang diisyaratkan oleh ayat-ayat yang mulia ini, Muhammad bin Ishaq dengan sanadnya – dalam sirah nabawiyah – berkata;
“setelah Rasulullah saw. mendengar Abu Sufyan akan bertolak dari Syam, beliau menyemangati kaum muslimin agar menghadangnya, dan Rasulullah saw.
bersabda, “Inilah kafilah dagang Quraisy yang membawa harta benda mereka. Maka keluarlah kalian untuk menghadangnya, semoga Allah memberikan harta rampasan kepada kalian”.

Maka orang-orang pun bersegera menyambut seruan itu. Walaupun sebagian orang ada yang merasa ringan, namun yang lain ada juga yang merasa berat. Hal itu disebabkan mereka tidak menyangka bahwa Rasulullah saw. akan menghadapi peperangan.

Ketika dekat dengan wilayah Hijaz, Abu Sufyan telah memerintahkan mata-matanya untuk mencari dan menyelidiki informasi. Dia juga bertanya kepada kabilah-kabilah yang berpapasan dengannya, karena khawatir terhadap kafilahnya. Sehingga, ada sebagian kafilah yang memberitakan kepadanya, bahwa Muhammad saw. telah meminta para sahabat beliau untuk mencegatmu dan kafilahmu.

Maka Abu Sufyan pun mengambil ancang-ancang dan berhati-hati setelah itu.
Kemudian, dia mengupah Dhamdham bin Amru Al-Ghifari untuk diutus kepada penduduk Makkah agar keluar membela kafilah dagang mereka, dan mengabarkan kepada mereka bahwa Muhammad saw. bersama para sahabatnya telah mengancamnya dan mencegatnya. Maka, keluarlah Dhamdham bin Amru Al-Ghifari segera bertolak ke Makkah.

Sementara, Nabi Muhammad saw. bersama para sahabat beliau telah sampai ke suatu lembah, yang dinamakan dengan Dafaran. Lalu Beliau bertolak darinya, namun di salah satu bagian lembah tersebut, beliau mendapat khabar bahwa Quraisy telah bertolak ke arah Rasulullah saw. untuk membela kafilah mereka.

Kemudian, Rasulullah saw. bermusyawarah dengan para sahabat, Memberitahukan tentang berita dari Quraisy. Maka, berdirilah Abu Bakar ra., beliau berbicara yang baik. Kemudian, berdirilah Umar bin Khatthab ra. dan beliau berbicara yang baik.

Lalu berdirilah Miqdad bin Amru seraya berkata, “wahai Rasulullah, Majulah ke arah yang diperintahkan oleh Allah swt. kepada anda, karena kami Akan selalu bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa, Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali-sekali Tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. Al-Maidah; 24).

Namun, bertolaklah Anda dan Tuhan Anda. Dan berperanglah, karena kami akan berperang bersama Anda dan Tuhan Anda. Demi Allah, yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, seandainya Anda membawa kami ke Barkil Gamad’ yaitu suatu kota di Habasyah (Etiopia), maka kami bertahan dan bersabar bersama Anda untuk menuju kepadanya, hingga Anda mencapainya.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepadanya dengan sabda yang baik Dan mendo’akan kebaikan untuknya, “Berilah pendapat untukku wahai orang-orang!”.

Rasulullah saw. mengarahkan maksud beliau kepada orang-orang Ansar, – hal itu disebabkan mereka adalah terbanyak jumlahnya – dan hal itu Disebabkan pula oleh baiat mereka kepada Rasulullah saw. di Aqabah.

Mereka berkata, “wahai Rasulullah saw. sesungguhnya kami bebas dari perlindungan terhadap diri Anda, hingga Anda sampai ke negeri kami. Bila Anda telah sampai ke negeri kami, maka Anda telah berada dalam Perlindungan kami. Kami akan melindungi dan membela Anda dari segala sesuatu yang Kami bela, sebagaimana anak-anak dan isteri-isteri kami”.Rasulullah saw. merasa khawatir bahwa orang-orang Anshar tidak
Memandang wajib bagi mereka untuk membela Rasulullah saw. dan menolongnya,
Melainkan hanya atas musuh yang menyerang beliau di Madinah, dan bahwa mereka
Tidak harus ikut serta menyerbu musuh yang jauh dari negeri Madinah.

Setelah Rasulullah saw. menyatakan sabda tersebut, Sa’ad bin Mu’adz ra. Berkata, “Demi Allah, seolah-olah Anda menginginkan kami wahai Rasulullah saw.?”

Rasulullah saw. Bersabda, “benar”.

Sa’ad bin Mu’adz ra. Berkata,
“kami telah beriman kepada Anda dan membenarkan Anda, dan kami telah bersaksi bahwa risalah yang Anda bawa dan emban adalah kebenaran dan haq. Kami juga telah memberikan sumpah dan janji kami kepada Anda, bahwa kami akan mendengar dan mentaati anda. Maka, majulah terus wahai Rasulullah saw. kemanapun Allah swt. menyuruh Anda.

Karena demi Allah, yang telah mengutus Anda dengan kebenaran. Seandainya Anda menyuruh kami untuk menceburkan diri kami ke dalam lautan ini dan Anda telah menceburkan diri ke dalamnya, maka kami pun akan ikut menceburkan diri kami ke dalamnya bersama Anda. Tidak akan ada seorang pun yang tertinggal.

Kami tidak akan takut dan benci bertemu dengan musuh-musuh kami besok. Karena sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang sabar dan bertahan dalam perang, jujur ketika bertempur, dan semoga Allah swt. menampakkan kepada Anda apa yang menyenangkan hati Anda. Maka bertolaklah bersama kami dengan keberkahan dari Allah swt.”.

Maka, tampaklah kebahagiaan dalam diri Rasulullah saw. dengan Pernyataan Sa’ad. Hal itu membuat beliau bersemangat, seraya bersabda, “bertolaklah kalian dengan keberkahan dari Allah swt. dan bergembiralah. Karena sesungguhnya Allah swt. telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok Quraisy, dan demi Allah, seolah-olah aku melihat kehancuran kaum itu saat ini”.

Perang Badar berakhir setelah bulan Ramadan atau awal dari Syawwal.

3. Penaklukkan Mekkah
Penaklukkan Mekkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke delapan. Penyebab perang ini adalah terjadinya pertempuran antara Bani Bakar melawan Bani Khuza’ah. Pemicu pertempuran antara keduanya adalah seorang dari Bani Al-Khadrami, namanya Malik bin Abbad, yang merupakan sekutu dari Bani Bakar, keluar untuk berdagang.

Ketika dia sampai ke tanah Khuza’ah, mereka melakukan kejahatan Terhadap Malik bin Abbad, membunuhnya, dan merampas harta bendanya. Kemudian, Bani Bakar pun membalas dendam dan membunuh salah seorang dari Bani Khuza’ah.

Permusuhan ini berlarut-larut hingga Islam menjadi penghalang antara keduanya dalam permusuhan, dan orang-orang lebih tertarik dengan isu Islam dan dakwahnya. Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah saw. dengan Quraisy, syarat-syarat perjanjian yang berlaku bagi Rasulullah saw. dengan Quraisy juga berlaku atas para sekutu masing-masing. Diantara ketentuan syarat perjanjian tersebut; bahwa barang siapa Ingin masuk ke dalam sekutu Rasulullah saw., boleh melakukannya, dan barang siapa yang ingin masuk ke dalam sekutu Quraisy, dipersilahkan. Bani Bakar masuk ke dalam sekutu Quraisy dan Bani Khuza’ah masuk ke dalam sekutu Rasulullah saw.

Bani Bakar merasa ada peluang untuk melakukan pembalasan kepada Bani Khuza’ah. Naufal bin Mu’awiyah bersama pengikutnya, yaitu pemimpin Bani Bakar – namun tidak semua Bani Bakar ikut bersamanya – keluar menyerang Bani Khuza’ah di lembah mereka dan sumur mereka, yaitu Al-Watir. Mereka membunuh orang-orang yang ada dan terjadilah pertempuran.

Quraisy ikut memasok senjata kepada Bani Bakar, dan dengan sembunyi-sembunyi mereka juga ikut membantu dalam pasukan Bani Bakar, hingga mereka berhasil mendesak Bani Khuza’ah sampai ke dekat areal tanah haram. Dengan perbuatan ini, maka Quraisy telah melanggar salah satu syarat perjanjian damai, dan dengan demikian mereka telah memaklumkan perang terhadap Rasulullah saw. Dan kaum muslimin.

Rasulullah saw. pun menyiapkan pasukan untuk menyerang Makkah. Rasulullah saw. keluar bertolak dari Madinah pada hari ke sepuluh bulan Ramadhan. Rasulullah saw. berangkat dari Madinah dalam kondisi puasa, demkian Pula para pasukan beliau. Namun ketika sampai di Kadid, antara Asfan dan Amaj, Beliau berbuka, demikian pula para pasukan beliau ikut berbuka.

Rasulullah saw. berhasil menaklukkan Mekkah dengan gilang-gemilang, Tanpa banyak menumpahkan darah. Allah swt. melukiskan hal itu dalam firman-Nya,

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. maka Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 1-3).

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan
Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA, Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI

“hendra”

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN
(Bagian ke-7)

RAMADHAN DAN LIMPAHAN KASIH SAYANG

Kasih sayang dan rahmat Allah swt. berlimpah dalam bulan Ramadhan. Pintu-pintu rahmat terbuka lebar dan pintu-pintu kemurkaan-Nya tertutup rapat. Syaitan yang enjadi simbol perusak dan pengganggu ketentraman dan kasih sayang antara manusia, ibelenggu dengan erat di neraka.

Kondisi telah dibuat sedemikian rupa, sehingga kaum muslimin dapat menumbuhkan dan
menyuburkan rasa kasih sayang antara mereka, khususnya orang-orang yangbutuh bantuan dan ditimpa kemalangan dari orang-orang yang beriman. Memang, risalah Ramadhan bukan hanya menumbuhkan kasih sayang antara Sesame orang-orang yang beriman dan manusia secara umum. Namun, kasih sayang adalah salah satu misi dan target pokok dari puasa dan ibadah Ramadhan, yang tersirat dalam misi puncak, yaitu agar kaum mukminin bertakwa. Allah swt. berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakw” (QS. Al-Baqarah: 183).

Kasih sayang antara sesama umat Islam dan orang-orang yang beriman merupakan
salah satu faktor penting dalam kesempurnaan iman. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda,

“Demi Allah swt. yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak akan beriman seorang dari kalian, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya (yang beriman) sebagaimana apa yang dicintai untuk dirinya sendiri”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw. memberikan perumpamaan tentang cinta dan kasih sayang antara
orang beriman laksana sebatang tubuh yang saling bertenggang rasa, saling menopang, saling mengasihi, dan berbagi rasa. Rasulullah saw. bersabda,

“perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta dan kasih sayang mereka
adalah laksana sebatang tubuh, dimana bila salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan ‘kesulitan tidur’. (HR. Muslim)

Bahkan, kasih sayang antara umat Islam merupakan salah satu karakter dan sifat pokok atau utama yang ditetapkan Allah swt. atas umat Muhammad saw. Sifat ini sangat dipuji oleh Allah swt. sebagaimana firmannya,

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (QS. Al-Fath:29)

Dalam bulan Ramadhan, rasa kasih sayang dan cinta antara umat Islam, sangat
tepat untuk disemai dan dipupuk kembali, sehingga tumbuh subur dan bersemi.
Kasih sayang itu berupa segala macam bentuk kebaikan dan pembelaan terhadap
sesama mukmin. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“barang siapa yang menutup aib saudaranya yang muslim di dunia, maka Allah
swt. akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa yang membantu menyelesaikan masalah yang menghimpit saudaranya (yang beriman) di dunia, maka Allah swt. akan menyelesaikan masalah yang menghimpitnya pada hari kiamat. Dan Allah swt. pasti menolong seorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya (yang beriman)”. (HR. Muslim).

1. Membina Sifat Kasih Sayang

Rasulullah saw. memberikan contoh dan keteladanan berkenaan dengan kasih sayang. Rasulullah saw. adalah sosok yang penuh kasih dan sayang. Sifat kasih sayang telah terbina dalam diri beliau sejak masih belia. Diantara faktor yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan sifat kasih sayang dalam diri beliau adalah kecintaan dan kasih sayang terhadap binatang, khususnya terhadap kambing yang beliau gembala.

Rasulullah saw. menyebutkan bahwa tidak seorang nabi dan rasul pun Yang diutus oleh Allah swt., melainkan pernah menggembala kambing. Termasuk Rasulullah saw. pernah menggembala kambing beberapa tahun, ketika masih remaja. Hikmahnya yang tersirat dalam aktivitas menggembala kambing Adalah Allah swt. menguji dan mendidik mental para nabi dan rasul agar bersabar dan bersifat kasih sayang terhadap binatang, sehingga mereka lebih bias mencintai dan lebih menyayangi manusia, umatnya, dan sesama makhluk yang lain.

Sesungguhnya, kasih sayang terhadap binatang itu sendiri adalah
sifat dan perilaku yang sangat mulia di sisi Allah swt. dan mendapat imbalan
yang agung dari-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. berkata;
Rasulullah saw. Bersabda,

“ketika seorang sedang berjalan-jalan, dia merasakan sangat kehausan. Kemudian dia menemukan sebuah sumur, lalu dia turun ke sumur itu dan minum sepuas-puasnya. Ketika dia naik, tiba-tiba dia melihat ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya menjilat tanah karena kehausan. Dia berkata pada dirinya, pasti anjing ini ditimpa kehausan seperti aku tadi mengalami kehausan. Lalu diapun kembali turun ke sumur dan memenuhi ‘khuff’ (sepatu)nya dengan air, memegangnya dengan mulutnya, kemudian dia
Merangkak naik untuk memberi minum anjing itu. Allah swt. berterima kasih Kepadanya dan mengampuni dosanya. Para sahabat bertanya, ‘wahai Rasulullah saw. Apakah kami mendapat ganjaran dalam melayani binatang?’ Rasulullah saw. Bersabda, “dalam tiap-tiap makhluk yang memiliki hati yang masih segar ada pahala dan ganjaran”. (HR. Samarkandi).

Dalam praktek sahabat, dapat kita simpulkan betapa serius mereka membina kasih sayang itu dalam diri mereka, dengan berusaha melayani sesama saudara. Betapa menakjubkan gambaran kasih dan cinta yang terjalin antara para sahabat Anshar terhadap kaum Muhajirin. Gambaran kasih dan cinta mereka cukuplah diwakili oleh ayat al-Qur’an sebagai berikut,

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).

Oleh karena itu, dalam potret diri Umar bin Khattab, seorang khalifah yang sangat bijak dan kasih terhadap rakyatnya, kita temukan beberapa riwayat tentang cintanya terhadap rakyatnya. Dari Anas bin Malik ra. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab ra. pada suatu malam sedang keliling melakukan ronda. Dia melewati sekelompok orang yang mampir untuk menginap (di kota Madinah). Dia sangat khawatir dan takut ada orang yang mencuri barang-barang mereka.

Kemudian Umar mendatangi Abdurrahman bin Auf ra. yang kaget dan bertanya,”apa yang membuat Anda datang pada larut malam seperti ini, wahai Amirul Mukminin? Dia menjawab, “aku melewati sekelompok orang yang mampir. Naluriku berkata, bila mereka bermalam dan tidur, aku takut mereka akan kecurian. Maka ikutlah denganku agar kita menjaganya malam ini. Keduanya pun bertolak. Keduanya duduk dekat orang-orang itu semalam suntuk, untuk menjaganya, hingga ketika melihat subuh telah tiba, Umar menyeru, “wahai orang-orang, shalat subuh…shalat subuh…berkali-kali. Setelah melihat mereka telah bergerak dan bangkit dari tidurnya, keduanya pun bangkit dan menuju
ke masjid.

Bahkan, para sahabat tidak hanya menyayangi orang-orang yang beriman. Kasih sayang mereka juga tercurah bagi para ahli dzimmah, yaitu orang-orang non-muslim yang berlindung dalam khilafah Islam.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab melihat seorang laki-laki tua dari ahli dzimmah yang meminta-minta dari satu pintu ke pintu yang lain. Umar berkata kepadanya, “kami telah berbuat tidak adil terhadap Anda. Kami telah mengambil jizyah (upeti) dari Anda ketika Anda masih muda, namun saat ini kami telah menyia-nyiakan Anda. Kemudian Umar memerintahkan agar mencukupi makanannya dari baitul mal (gudang perbendaharaan negara) milik kaum muslimin”.

2. Kasih Sayang Rasulullah saw.
Allah swt. selalu penuh perhatian terhadap hamba-hamba-Nya, dan diantara kasih ayang-Nya, Dia menganugerahkan risalah-Nya kepada manusia lewat pengutusan seorang Rasul, yang sangat kasih dan cinta kepada umatnya. Allah swt. menegaskan hal itu dalam firman-Nya,
“sesungguhnya telah datang kepada kalian, seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman”. (QS. At-Taubah: 128).

Dengan misi sebagai teladan bagi seluruh manusia, seorang Rasul
haruslah orang yang terbaik. Muhammad bin Abdullah adalah orang yang terbaik
itu. Beliau memiliki segala kelayakan dan keistimewaan sebagai seorang
yang paling pantas dijadikan teladan dan panutan. Dalam ayat di atas
tergambar jelas sebagian sifat istimewa Rasulullah saw. itu.

Sifat yang tergambar dalam ayat itu adalah kepedulian Rasulullah saw. terhadap matnya yang sangat mendalam. Beliau sangat prihatin dan penuh belas kasih terhadap orang-orang yang beriman. Dengan segala upaya, beliau menyelamatkan mereka dari perangkap-perangkap kemusyrikan, kekafiran, kefasikan, kemunafikan, dan kezhaliman. Beliau terus-menerus menghalau segala musuh, baik hawa nafsu ataupun syaitan dari umatnya.Bentuk perhatian Rasulullah saw. terhadap umatnya dan kasih sayang beliau kepada mereka terlihat jelas pada saat beliau berada dalam sakaratul maut. Layaknya seorang yang akan meninggalkan dunia ini, Rasulullah saw. pun sangat mengkhawatirkan orang-orang yang dicintainya.

Namun, tidak seperti orang kebanyakan, yang ketika dalam sakaratul maut sering mengingat dan menyebut-nyebut kekasihnya, isterinya, anaknya tercinta, binatang piarannya yang tersayang, dan lain-lain. Rasulullah saw. hanya mengingat umatnya. Beliau terus-menerus mengadu kepada Tuhannya, “umatku… umatku., bagaimana nasib umatku setelah peninggalanku?”. Beliau sangat mengkhawatirkan umatnya kembali kepada kemusyrikan, kekufuran, dan kesesatan.

Oleh karena itu, mencintai Rasulullah saw. merupakan kewajiban setiap umat Islam. Rasulullah saw. berada dalam urutan kedua setelah Allah swt. dalam skala prioritas cinta seorang muslim (QS. At-Taubah ayat: 24).

Nah, sudahkah kita menempatkan Rasulullah saw. sebagai kekasih, teladan, dan uswah tertinggi dari seluruh manusia lainnya? Ataukah kita masih lebih mengagungkan kyai, ulama, pemimpin, tokoh politik, negarawan dan lain-lain, melebihi pengagungan kita kepada Rasulullah saw.?

Konsekuensi yang paling penting disadari oleh umat dari menteladani Rasulullah saw. adalah mentaati dan mengikuti sunnah beliau. Mari kita ukur sikap meneladani kita kepada Rasulullah saw. dari sisi itu, khususnya dalam hal kasih sayang dan cinta.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan
Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA, Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI

“hendra”

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN
(Bagian ke-5)

SHAUM, KESEHATAN, DAN ETOS KERJA
1. Pendahuluan

Agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah, melalui Rasul-rasul-Nya. Di antaranya membawa peraturan-peraturan dan hukum yang harus ditaati manusia muslim. Peraturan itu tidak akan berubah dan telah sempurna. Ajaran Islam mencakup seluruh bidang kehidupan manusia di dunia ini, termasuk bidang kesehatan. Di antara sabda Nabi Muhammad Saw tentang kesehatan, adalah:
“Berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat.”

Islam mengatur kesehatan dan menentukan untuk apa kita harus sehat serta menjelaskan tujuan hidup kita di dunia. Tentang tujuan hidup manusia, Allah berfirman,
“Dan tidak Aku jadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”.

Sabda Rasulullah saw., “Mohonlah kepada Allah keselamatan dari penyakit dan bala, sesungguhnya, tiada suatu pemberian Allah sesudah iman yang lebih baik dari keselamatan.”

2. Definisi Shaum

Secara bahasa (lughoh), shaum berarti imsak (menahan diri), yaitu menahan diri secara umum, apakah menahan diri dari berbicara, bergerak, makan, dan minum.

Secara istilah syar’i, shaum adalah menahan diri dari dua syahwat, yaitu syahwat perut dan syahwat seksual. Menahan diri dari makan dan minum serta mencampuri istri, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari (maghrib).

Puasa (shaum) harus dikerjakan sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw., yaitu dengan menjaga segala sesuatu yang membatalkan puasa. Menjaga adab-adab puasa yang merusak nilai puasa dan mengerjakan amalan-amalan yang dianjurkan selama puasa.

3. Pengertian Sehat

Keadaan sehat bukan semata-mata dari kondisi fisik seseorang saja, tapi keadaan psikis dan sosialnya juga menentukan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) membuat defisi sehat, sebagai berikut:

“Health is a condition of physical, mental, and social well-being and not just merely the absent of disease and infirmity.”

Sehat adalah suatu kondisi dimana terdapat keadaan yang baik (sehat) dari fisik, mental, dan sosial, bukan hanya sekedar terbebas dari penyakit dan kecacatan.

Puasa dalam hubungannya dengan kesehatan, akan memberikan
pengaruhnya yang
sangat positif dan mendasar, yaitu menghadapi permasalahan kesehatan
dari
segi pendekatan promotif, preventif, dan kuratif.

Dengan berpuasa, seseorang akan mengatur perilaku hidupnya. Mengatur atau menahan hawa nafsunya dari berbagai perilaku yang merugikan kesehatan, baik fisik, mental, maupun sosial. Karena sebagaimana kita ketahui, bahwa perilaku seseorang atau masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan seseorang atau masyarakat tersebut.

Misalnya, suka makan terlalu banyak akan menyebabkan kegemukan, yang akan
memberikan resiko kepada beberapa jenis penyakit. Perilaku penyimpangan seksual akan menyebabkan terjadinya berbagai penyakit kelamin yang berbahaya. Merokok dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan jantung dan sebagainya.

Para sarjana telah melakukan penelitian terhadap sejumlah gejala dan tindak kejiwaan yang dibawa oleh syari’at seperti shalat, puasa, kasih sayang dan sebagainya. Mereka mencoba untuk menemukan pengaruh dari ajaran ini pada sel-sel tubuh manusia, apa yang terjadi pada sel-sel otak dan sel-sel tubuh lainnya?

Penelitian ilmiah ini sampai pada suatu kenyataan yang mengagumkan, yang menambah keimanan mereka. Sehingga, mereka menjadi tekun beragama dan teguh menjalankan syari’at-syari’at-Nya. Benarlah apa yang difirmankan Allah,

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah
para ulama (cendekiawan)” (QS. Fathir : 28)

Terhadap Tubuh/Jasmani, puasa memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan, antara lain:

1. Pemeliharaan tubuh dari sisa-sisa kelebihan zat tubuh pada sel.

Dalam keadaan puasa, tubuh akan menggunakan zat-zat makanan yang tersimpan. Sekiranya zat makanan tersebut habis, maka mulailah digunakan atau dioksidasi jaringan-jaringan tertentu.

Bagian tubuh yang paling pertama digunakan adalah bagian yang terlemah atau sakit, seperti jaringan dengan peradangan dan pernanahan. Dari jaringan tersebut yang pertama diproses adalah jaringan yang rusak atau telah tua, untuk selanjutnya dikeluarkan oleh tubuh. Puasa dalam hal ini bertindak sebagai pisau operasi yang membuang sel-sel
yang rusak atau lemah dari bagian tubuh yang sakit. Selanjutnya memberi
kesempatan kepada peremajaan sel-sel, sehingga lebih aktif.

2. Melindungi Manusia dari Penyakit Gula

Pada waktu puasa, kadar gula darah akan turun. Hal ini menyebabkan kelenjar pankreas berkesempatan untuk istirahat. Kita mengetahui fungsi kelenjar ini adalah untuk menghasilkan hormon visulin. Hormon ini berfungsi mengatur kadar gula dalam darah, mengubah kelebihan gula menjadi glukogen yang disimpan sebagai cadangan di otot dan hati.

3. Menyehatkan Sistem Pencernaan

Di waktu puasa, lambung atau sistem pencernaan lainnya akan istirahat selama lebih kurang 12-14 jam, selama lebih kurang satu bulan. Jangka waktu ini cukup mengurangi beban kerja lambung dari makanan yang bertumpuk dan berlebihan.

4. Puasa Mengurangi Berat Badan yang Berlebih

Puasa dapat menghilangkan lemak dan kegemukan, secara ilmiah diketahui bahwa rasa lapar tidaklah karena kekosongan perut dari makanan semata, tetapi juga dipengaruhi penurunan kadar gula dalam darah.

Oleh karena itu dianjurkan berbuka dengan yang manis terlebih dahulu, sehingga bisa mengurangi makan yang berlebihan pada waktu berbuka, sehingga tidak menghilangkan hikmah puasa yang mengharuskan hemat, zuhud, melatih nilai rohani, dan lain-lain.

4. Etos Kerja dalam Islam

Dalam konsep Islam, kerja atau pekerjaan seseorang tidak terlepas dari fungsi hidupnya di muka bumi ini yairu mengabdi kepada Allah swt. semata (Q.S. Adz-Dzariyat : 56). Dalam konsep Islam, pekerjaan seseorang merupakan bagian dari usahanya dalam memfungsikan dirinya sebagai hamba yang selalu mengabdi kepada Allah swt. Oleh karena itu, pekerjaan merupakan ibadah.

Dengan kesadaran demikian, maka hampir tidak mungkin seseorang akan melakukan penyelewengan atau kecurangan dalam pekerjaannya.

Puasa sebagai salah satu motivator bagi perbaikan kehidupan rohani dan jasmani seseorang, secara tidak langsung juga akan meningkatkan kebaikan nilai kerja dan usaha-usahanya. Seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah bahwa Allah menyukai seseorang yang dalam melakukan pekerjaannya, dilakukan dengan profesional dan tepat guna.

5. Kesimpulan

1. Ibadah secara umum berarti setiap aktivitas/kerja/amal yang baik dari seseorang yang dilaksanakan sesuai dengan agama dan diniatkan karena Allah semata.

2. Dari batasan di atas dapat dipahami, bahwa dalam Islam tidak ada pembatasan amal atau pekerjaan seseorang untuk bersifat dunia semata atau ukhrawi semata (sekularisme).

3. Shaum sebagai salah satu rukun Islam yang lima, memberikan kontribusi yang jelas bagi kesehatan ataupun etos kerja seseorang, asalkan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk yang digariskan dalam syari’at.

4. Pengalaman menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan segala
Persyaratannya (menahan berbagai dorongan nafsu, amarah, dan sebagainya) yang
Diulang setiap hari selama satu bulan penuh dan diulang kembali setiap tahun, bila benar-benar dimulai dengan niat dan kesiapan iman akan merupakan suatu proses belajar yang efisien dan efektif dalam menuntun perilaku dan disiplin diri.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan
Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA, Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI

“hendra”

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN
(Bagian ke-4)

RAMADHAN, SAAT TEPAT BERTAUBAT

Kemuliaan dan keistimewaan bulan Ramadhan telah disadari. Di dalamnya ada rahmat, keberkahan, kebaikan, keselamatan, ampunan yang tak terhingga, pahala yang berlipat ganda, dan kenikmatan berlimpah ruah.

Karena itu, Rasulullah saw. menjelaskan dalam sabdanya, “seandainya manusia mengetahui kebaikan dan keistimewaan yang ada di bulan Ramadhan, maka mereka
akan menginginkan seandainya seluruh bulan yang ada menjadi bulan Ramadhan”.

Semangat berlomba-lomba dalam ibadah dan kebaikan menjadi ciri khas dari Ramadhan. Secara umum, kecenderungan kaum muslimin meningkatkan ibadahnya sangat tinggi di bulan Ramadhan. Orang awam pun berlomba-lomba meningkatkan ibadahnya, seperti: memakmurkan masjid, bersedekah, menambah shalat sunah, melaksanakan tarawih, memberikan buka puasa, dan lainnya. Semangat beribadah dan melakukan kebaikan belum sempurna bila seseorang belum memiliki kepedulian terhadap usaha menghindari perangkap-perangkap dosa.

Bahkan, memelihara dan menjaga diri dari dosa dan menjauhkan segala perangkap-perangkapnya, sangat besar fadhilah dan keutamaannya di sisi Allah swt. Mari kita renungkan riwayat hadits Rasulullah saw. yang menjelaskan tentang tujuh golongan yang akan dilindungi oleh Allah swt. di akhirat kelak, dimana tidak ada perlindungan selain perlindungan Allah swt.

Bulan Ramadhan di samping menyediakan banyak peluang ibadah dan kebaikan, ia juga membuka lebar-lebar pintu untuk menjauhkan diri dari maksiat dan dosa. Upaya menjauhkan diri dari dosa dan maksiat, tidak terlepas dari keharusan orang bertaubat dan membersihkan diri dari dosa-dosa dan maksiat mereka yang pernah terjerumus ke dalamnya. Itulah istighfar dan taubat.

1. Urgensi Taubat

Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa, kecuali Rasulullah saw. Kenyataan ini mengharuskan setiap orang introspeksi diri dan kembali bertaubat kepada Allah swt. Rasulullah saw. sendiri yang telah bebas dari dosa, selalu beristighfar dan bertaubat tidak kurang dari tujuh puluh kali setiap hari. Dalam riwayat lain, seratus kali. (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam Al-Qur’an ditemukan banyak ayat tentang pentingnya bertaubat. Diantaranya, “dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian meraih kemenangan”. (An-Nur: 30)

Ayat ini turun di Madinah kepada generasi terbaik umat ini, dari Muhajirin dan Anshar. Bahwa, bila mereka ingin meraih kemenangan, kejayaan, dan kebahagiaan, maka harus dengan syarat bertaubat. Padahal, mereka telah mempersembahkan segalanya untuk perjuangan iman melawan siksaan dan intimidasi kafir Quraisy, menghadapi segala rintangan dan penderitaan dalam berhijrah, dan menghadapi kilatan pedang, serangan musuh, dan ancaman syahid dalam berjihad di medan perang.

Ayat ini seolah-olah menyatakan bahwa tidak cukup hanya dengan beriman, berhijrah, dan berjihad untuk mencapai kemenangan. Tetapi, harus pula dengan banyak bertaubat. Ayat lain menyatakan hakikat yang lebih menggetarkan hati. Allah swt. Berfirman, “dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka pasti orang-orang yang zhalim”. (Al-Hujurat; 11).

2. Kewajiban Taubat dan Keutamaannya

Wahsyi, pembunuh Hamzah, paman tersayang Rasulullah saw. pernah ragu-ragu
masuk Islam, karena takut dosanya tidak akan terampuni dan taubatnya tidak diterima oleh Allah swt. Namun, setelah mendapat jawaban dari Rasulullah saw. berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, tanpa ragu dia pun masuk Islam dan bertaubat menuju ke Madinah. Dari Ibnu Abbas ra. Berkata,

“sesungguhnya Wahsyi, pembunuh Hamzah ra. paman Rasulullah saw. menulis
surat kepada Rasulullah saw. dari Mekkah, yang menyebutkan bahwa sesungguhnya aku ingin masuk Islam, namun yang menjadi penghalangku dari masuk Islam, adalah ayat Al-Qur’an yang turun kepada Anda, yaitu firman Allah swt.,

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya),” (Al-Furqan; 68).

Aku telah melakukan tiga perkara itu. Sekarang apakah aku berpeluang untuk bertaubat?”

Kemudian turun firman Allah swt., “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Furqan; 70). Rasulullah saw. pun membalas surat Wahsyi dengan ayat itu.

Wahsyi menulis surat lagi yang isinya menyebutkan tentang syarat taubat, yaitu beramal shaleh, dan aku tidak tahu apakah aku dapat melakukan amal shaleh atau tidak? Kemudian turun firman Allah swt.,

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan
Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (An-Nisa: 116).

Rasulullah saw. pun membalas surat Wahsyi dengan ayat itu. Wahsyi menulis surat lagi yang isinya menyebutkan tentang syarat taubat yang juga terdapat dalam ayat tersebut, dan aku tidak tahu apakah aku mendapatkan ampunan atau tidak?

Kemudian turun firman Allah swt.,

“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia lah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Az-Zumar; 24).

Rasulullah saw. pun membalas surat Wahsyi dengan ayat itu. Wahsyi tidak lagi
melihat ada syarat dalam ayat tersebut, maka dia pun bertolak menuju Madinah dan masuk Islam.”

Keadilan dan kebijakan Allah swt. menentukan bahwa setiap bani Adam berdosa,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda,

“setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah Adalah orang-orang yang bertaubat”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim ).

Namun, Allah swt. tidak zhalim terhadap manusia. Ketika mereka berpeluang untuk bersalah, maka Allah swt. membuka lebar-lebar pintu taubat untuk membersihkan dosa-dosanya.

Oleh karena itu, Allah swt. telah mewajibkan taubat atas setiap hamba-Nya. Allah swt. Berfirman,

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah – Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Ali Imran: 133-136).

Rasulullah saw. mengilustrasikan keutamaan taubat dalam haditsnya mengenai diri beliau sendiri, “aku adalah nabi taubat dan nabi yang penuh kasih sayang”. (HR. Muslim).

Rasulullah saw. juga menggambarkan orang-orang yang bertaubat kepada Allah swt., bahwa mereka di sisi Allah swt. sangat mulia dan Allah swt. Sangat senang dengan taubat seseorang, lebih daripada senangnya seorang pengelana yang menemukan kembali onta beserta perbekalannya yang hilang di padang pasir, sedangkan dia sendiri tidak lagi memiliki perbekalan lainnya selain itu. Sehingga saking gembiranya, dia berseru; “Ya Allah swt. Engkau hambaku, dan aku adalah tuhan-Mu”, tanpa dia sadari kekeliurannya yang sangat fatal.

3. Hakikat Taubat Nasuha dan Syarat-syaratnya

Hakikat taubat nasuha adalah kembali kepada Allah swt. dengan mengenal betul tentang sifat-sifat Allah swt., nama-nama-Nya, dan pengaruh-pengaruh-Nya dalam diri sendiri dan di alam semesta. Seorang yang kembali kepada Allah swt. harus disertai kesadaran bahwa dia telah lari dari Allah swt. Dan terperangkap dalam jerat musuh-Nya. Hal itu disebabkan kebodohannya akan hakikat Tuhannya dan keberanian menentang-Nya.

Seseorang harus benar-benar kembali kepada Allah swt. dengan niat membersihkan diri dan mendekat kepada-Nya, dengan memenuhi syarat-syarat sahnya taubat berikut ini:

1. Ikhlas karena Allah swt. bukan karena lainnya.
2. Langsung melepaskan diri dari dosa, tanpa menunda-nunda.
3. Menyesali perbuatan dosa.
4. Bertekad dan berazam tidak akan mengulanginya lagi.
5. Mengembalikan hak-hak anak Adam AS.
6. Masih dalam masa taubat yang diterima, yaitu;
a. Sebelum sakaratul maut
b. Sebelum matahari terbit dari ufuk Barat.

Setelah bertaubat, seseorang dapat mengecek hakikat taubatnya melalui:

1. apakah perasaan berdosa telah merasuk ke dalam jiwanya atau belum? Perasaan itu terdiri dari:
a. Perasaan akan adanya pelanggaran besar dan dosa
b. Perasaan akan keagungan Dzat Allah swt. yang dilanggar perintah-Nya dan larangan-Nya.
c. Perasaan akan kepastian balasan yang diterima karena pelanggaran itu, bila tidak bertaubat.

2. Selalu diliputi kekhawatiran dari ketidakmampuan menepati hak-hak taubat sehingga tidak diterima Allah swt. Kekhawatiran itu harus lebih ditingkatkan bila terdapat tanda-tanda kerancuan taubat berikut:
a. Mata yang masih buram akan kebenaran dan telinga yang masih terhalang oleh syahwat dari mendengar nasihat dan kata-kata yang hak dan benar.
b. Hati yang masih membeku dan belum mencair dengan sentuhan ayat-ayat Allah swt.
c. Nurani yang masih lengah dan lalai
d. Tidak gemar dan merasakan kenikmatan dalam menjalankan amal shalih
e. Motivasi bertaubat untuk meraih keuntungan dunia dan martabat baik di mata manusia lebih kuat dibanding karena ikhlas mencari ridha Allah swt. dan derajat tinggi di sisi Nya.

4. Tanda-tanda Taubat Diterima

Ada beberapa indikasi dan tanda taubat seseorang diterima Allah swt., diantaranya:

1. Kondisi, perilaku, dan akhlak seseorang lebih baik daripada sebelumnya.
2. Kekhawatiran selalu menghantuinya akan sanksi Allah swt. dan tidak pernah merasa aman darinya sekejap pun, bila melakukan kesalahan dan dosa lagi.
3. Hatinya diliputi penyesalan dan ketakutan akan keluar dari rahmat dan ridha-Nya
4. Harapan dan kerinduan yang mendalam dan selalu menggelitik hati untuk mencapai keridhaan Allah swt.

Demikianlah sekilas bahasan tentang taubat nasuha. Bulan Ramadhan yang penuh barakah ini sangat cocok untuk bertaubat, kemudian memulai hidup dengan lebih shalih dan lebih banyak beramal. Selamat berusaha maksimal.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan
Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA, Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI

“hendra”

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN
(Bagian ke-2)

TIPOLOGI MANUSIA PENYAMBUT RAMADHAN

Setiap bulan Ramadhan menjelang, kita bisa membagi kaum muslimin dalam beberapa kategori dan model, yaitu:

Pertama, kalangan yang sangat antusias menyambut Ramadhan, karena sadar akan
banyaknya bonus rahmat dan pahala yang akan mereka dapatkan di bulan itu.

Kedua, mereka yang biasa-biasa saja dalam menyambut kedatangan bulan suci
ini, tanpa ekspresi dan tanpa apresiasi apa-apa. Karena mereka tidak mengerti apa sebenarnya yang ada dalam Ramadhan.

Ketiga, mereka yang gembira dengan kedatangan Ramadhan, hanya karena mereka
diuntungkan secara materi walaupuan mereka miskin secara ruhani.

Keempat, golongan yang merasa ketakutan dengan kedatangan bulan Ramadhan.

Terus terang, klasifikasi ini baru saja saya dapatkan dan tiba-tiba saja muncul dari benak saya, ketika saya membaca beberapa buku dan melihat fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Saya pun tidak tahu, apakah klasifikasi itu benar atau malah salah dan mungkin mengada-ada. Namun sekali lagi, saya katakan bahwa fenomena itu ada, minimal yang penulis tangkap dari gejala sosial yang ada.

Golongan pertama adalah mereka yang menyadari sepenuhnya makna dan nilai
yang ada dalam Ramadhan. Sehingga, jauh-jauh hari sebelum bulan suci ini hadir di hadapannya, mereka telah berkemas-kemas untuk mengarungi perjalanan rohani yang demikian mengasyikkan.

Semua perbekalan untuk menjalani perjalanan rohani itu telah mereka persiapkan dengan sebaik-baiknya dan sematang-matangnya. Mereka menyadari bahwa perjalanan rohani yang akan ditempuhnya dalam sebulan itu bukan perjalanan yang mudah dan gampang. Ia memerlukan stamina fisik dan rohani yang mapan, sehingga perjalanan itu bisa dilakukan dan dilalui dengan baik.

Pembiasaan-pembiasaan pembuka sebagai latihan, akan dilakukanya. Termasuk melakukan puasa-puasa sunah di bulan Sya’ban, atau mungkin bahkan sudah dilakukan pada bulan Rajab. Pokoknya, kelompok ini betul-betul siap menghadapi perjalanan rohani selama bulan Ramadhan.

Mereka mengerti benar peta perjalanan rohani itu dengan sebaik-baiknya. Akibatnya, secara mental mereka tidak terkejut dan bahkan merasakan hentakan kenikmatan, kala akan memasuki bulan suci ini. Penulis kira, golongan ini bukanlah golongan mayoritas di tengah umat dewasa ini. Mereka adalah para pemburu takwa.
Golongan kedua adalah mereka yang biasa-biasa saja dalam menyambut kedatangan bulan suci ini. Tak ada riak spiritual dan gairah jiwa yang meluap-luap penuh gembira menyambut bulan ampunan dan suci ini. Kehadiran Ramadhan sama sekali tidak mempengaruhi kebangkitan spiritualnya, tidak menggairahkan “urat-urat” kepekaan nuraninya. Tak ada yang berubah. Tak ada yang bergeser. Jiwanya demikian dingin, walaupun suasana bulan suci telah memercikkan kehangatan-kehangatan. Hati mereka tak lagi terangsang untuk memeluk erat sang tamu agung ini.

Di bulan suci ini, bukan tidak mungkin manusia semacam ini banyak jumlahnya. Bahkan, bisa menjadi bagian paling besar dari lapisan umat ini. Namun, saya berharap dan berdoa, semoga tidak. Untuk mereka, bonus-bonus Ramadhan tiada guna dan mereka memang tidak berhak mendapatkannya.

Kelompok ketiga adalah kelompok yang gembira dengan kehadiran bulan Ramadhan, karena mereka merasa bahwa kedatangannya dianggap akan membuat mereka menangguk keuntungan besar. Siapa mereka? Mereka adalah sosok-sosok pencari “nafkah” dengan kehadiran bulan suci.

Di benaknya, yang bertaburan bukan pahala-pahala yang Allah turunkan dari langit karena amal-amalnya yang sempurna. Yang terbayang dalam benaknya adalah “honor-honor” jutaan atau amplop-amplop dalam sekali tampil di publik, di media radio dan televisi, atau di mana saja yang dianggap mendatangkan uang.

Hatinya sama sekali tidak terpaut dengan “imaan dan ihtisaab” di bulan Ramadhan. Yang tertayang dalam benaknya adalah seberapa banyak penghasilan yang akan dia dapatkan dengan kehadiran bulan suci ini. Baginya tak perlu apakah bulan ini bulan ampunan atau bukan bulan ampunan, yang penting aliran uang mengalir deras ke kantong atau rekening.

Tak ada dalam kamusnya, bahwa malam-malamnya harus diisi dengan salat tarawih dengan khusyu’ dan penuh makna. Malamnya-malamnya malah dia sibukkan untuk tayang sana, tayang sini sambil tertawa bekakan, seakan Ramadhan adalah bulan tawa dan bukan bulan amal.

Malam-malamnya penuh dengan fatwa-fatwa dan seruan beramal, sementara dia sendiri tengah “membakar” dirinya dengan ucapan-ucapan yang sebenarnya dia sendiri tidak pernah, bahkan hanya untuk sekedar berniat melakukannya. Mulut berbusa-busa mengajak orang mentadabburi Al-Quran, namun dia sendiri untuk menyentuh, ya untuk menyentuh saja, demikian enggan.

Sosok ini bisa menimpa seorang pedagang, bisa seorang artis dan selebritis, bisa seorang kiyai, bisa seorang ustadz ternama, bisa seorang qari’-qariah, bisa seorang dai kondang, bisa seorang presenter, bisa seorang pengelola televisi, radio, pengelola pengajian, pengelola transportasi, dan siapa saja yang menjadikan uang sebagai target utama pada saat Ramadhan dating menjelang.

Saya yakin, kelompok ini ada dan bahkan jauh-jauh hari telah melakukan kalkulasi sejauh mana Ramadhan kali ini dia bisa eksploitasi sebaik-baiknya. Dia memang puasa, namun puasanya kosong dari makna dan spirit Ramadhan yang sebenarnya. Mereka memang puasa, namun puasa yang tidak memiliki bobot apa-apa. Hampa!!

Kategori terakhir adalah sosok manusia yang demikian ketakutan dengan kehadiran Ramadhan. Kelompok ini saya anggap sebagai kelompok yang sangat parah dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga.

Kelompok ini menjadikan Ramadhan sebagai momok yang selalu menghantui dirinya. Sebulan sebelum Ramadhan datang, mereka telah menggigil karena akan tiba bulan suci ini. Mereka merasa ngeri karena harus menahan makan dan minum, harus sembunyi-sembunyi jika mereka tidak puasa, mereka harus malu jika kepergok sedang makan-makan.

Bahkan bukan itu saja, ada diantara mereka yang merasa terancam roda hidupnya dengan kedatangan bulan suci ini. Mereka merasa bahwa Ramadhan telah menyumbat rizkinya.

Mereka bisa saja terdiri dari pelaku bisnis haram, para pengelola night-night club yang diperintahkan untuk ditutup selama Ramadhan. Mereka bisa saja adalah para pelacur kelas kakap yang setiap harinya menjual kehormatan kepada para si hidung belang. Bisa saja mereka adalah para pedagang makanan di pinggir-pinggir jalan, yang seakan hidup menjadi kiamat karena penghasilan drastis berkurang. Mereka bisa saja pengelola restoran atau siapa saja yang menganggap bahwa Ramadhan bukan bulan penyucian diri
dan jiwa.

Saya tidak berani berkomentar sosok macam apakah mereka. Yang jelas, mereka bukan pemburu takwa, bukan pula manusia yang mengharap ridha Tuhannya. Mereka tidak akan dapat nilai apa-apa di bulan mulia ini.

Kalau mungkin saya tambahkan, maka kelompok terakhir adalah kelompok pongah
yang dengan terangan-terangan tampil di depan orang menampilkan “keberaniannya”, bahwa mereka tidak puasa tanpa alasan apa-apa. Untuk yang terakhir ini, hanya Allah yang bisa memasukkan ke dalam neraka.

Kita berdoa, semoga kita masuk pada golongan pertama. Golongan yang semangat menyambut kedatangan Ramadhan yang mulia. Semangat memeluk nilai-nilai dan semangat pula memaknainya.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA
Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA
A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI (koleksi keadilan4all@yahoogroups.com Hendra)

Sambungan (artikel no.2 masih dicari di harddisk)
sumber : milist keadilan4all@yahoogroups.com

============

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN
(Bagian ke-3)

RAMADHAN DAN GELORA JIHAD

1. Ramadhan Bulan Istimewa
Tersebar imej kurang baik di kalangan sebagian orang bahwa Ramadhan adalah bulan istirahat dan bulan malas-malasan. Memang, ada suatu fenomena kurang Islami terjadi, tatkala umat Islam melewati bulan suci Ramadhan.

Di berbagai kantor, para karyawan seakan-akan kurang bersemangat bekerja dengan alasan sedang puasa. Seusai shalat Zhuhur, kita dapati mereka bergeletakan di mushalla atau masjid untuk tiduran, berdalih bahwa tidurnya orang puasa adalah ibadah. Para ibu rumah tangga pengeluaran belanjanya naik, mall dan pasar lebih ramai dibandingkan masjid, khususnya sepuluh hari terakhir dari Ramadhan.

Gejala negatif seperti ini terjadi, karena sebagian umat Islam kurang memahami esensi bulan Ramadhan sebagai bulan jihad, bulan panen pahala, dan bulan penuh berkah. Padahal, semangat Ramadhan yang difahami Rasulullah tercermin dalam sebuah hadits, “Seandainya umatku tahu (keutamaan) apa yang ada pada bulan Ramadhan, niscaya berharap agar satu tahun seluruhnya terdiri dari Ramadhan.” Ramadhan berasal dari kata-kata bahasa Arab “ramadl” maknanya “membakar’.

Ramadhan adalah bulan kesempatan umat Islam untuk membakar dosa lebih intensif dibandingkan dengan bulan lain. Mengapa membakar dosa?

Pertama, amalan puasa adalah ibadah istimewa dan berpahala istimewa yang mampu meningkatkan ketakwaan dan menepis semua bentuk kemunkaran dan maksiat.
Kedua, pada bulan ini umat Islam mendapatkan panen pahala karena ada malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar, dan
ketiga, dilipatgandakannya pahala semua amalan muslim dan muslimah. Yang wajib dilipatgandakan 70 kali dan yang sunnah disamakan dengan pahala amalan wajib. Dengan keistimewaan ini, dosa umat Islam terbakar oleh banyaknya pahala amalan kebajikan yang diraih pada bulan Ramadhan.

Barangkali, di sinilah rahasianya mengapa Rasulullah senantiasa menanti bulan Ramadhan, sehingga berdoa, “Allahumma baarik lanaa fi Rajaba wa Sya’baan wa ballighnaa Ramadlan” (Ya Allah berkati kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan antarkan kami sampai ke bulan Ramadhan.).

Selain dari pada itu, Beliau senantiasa berkhutbah ketika menyambut awal Ramadhan. Di antara isi khutbahnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan An Nasa’i adalah sebagai berikut:

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, penuh berkah. Allah mewajibkan atas kamu puasa di bulan itu. Pada bulan itu semua pintu neraka terbuka lebar dan semua pintu neraka Jahim tertutup rapat serta syetan-syetanpun dibelenggu. Di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya, maka sesungguhnya orang yang tidak beramal kebaikan pada bulan ini sungguh amat merugi.”

Konotasi “pintu-pintu surga terbuka lebar dan pintu neraka tertutup rapat dan syetan-syetanpun dibelenggu”, maksudnya bahwa orang yang berpuasa berkesempatan besar untuk masuk surga dan jauh dari neraka. Karena dengan puasanya ia berpahala besar dan pasti tidak bisa digoda oleh syetan yang terkutuk.

Kalau ada orang puasa yang masih bisa digoda syetan, berarti puasanya belum benar dan pasti tidak sempurna. Mengapa demikian? Orang yang berpuasa menurut syariat Islam akan menahan diri dari makan, minum, dan segala yang bisa membatalkan puasanya, atau pun segala yang bisa mengurangi pahala puasanya.

2. Ramadhan dan Jihad

Puasa adalah ibadah yang bernuansa jihad melawan hawa nafsu. Orang yang tidak bisa menahan nafsu syahwatnya, nafsu amarahnya, nafsu seksualnya, dan nafsu-nafsu lainnya selama berpuasa, berarti puasanya akan ditolak Rabbul Izzati. Rasulullah pernah menegaskan dengan sabdanya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh darinya untuk meninggalkan makanan dan minumannya.”

Inilah jihad muslim yang tiada hentinya, karena nafsu al ammarah bis suu’ senantiasa menyertainya, baik di kala jaga atau tidur. Namun, selain jihad melawan hawa nafsu ini, umat Islam diperintahkan juga berjihad melawan kekafiran dan kesyirikan. Jihad untuk mempertahankan diri dari serangan kaum kufar ini sering disebut dengan jihad qitali.

Allah swt. telah mensyariatkan jihad melawan kekufuran sebagai sarana ibadah dan perjuangan untuk menyiapkan individu muslim yang mampu membawa beban untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ibadah puasa penuh dengan kebaikan dan sumber pengkaderan untuk menyiapkan generasi yang mau berkorban lii’laai kalimatillah.

Tahun demi tahun dilewati umat Islam dan Ramadhan penuh dengan kenangan peristiwa besar yang menggambarkan jihad kaum muslimin. Sejak Islam datang menembus gelapnya kekufuran dan kesyirikan menuju cahaya Islam, umatnya telah menghadapi jihad besar melawan kezhaliman dalam menegakkan keadilan.

Jihad yang disyariatkan Islam bertujuan mencapai dua sasaran:

Pertama: Untuk mempertahankan diri dari serangan asing dan mempertahankan tanah air di mana mereka tinggal.

Kedua: Mempertahankan dakwah Islamiyah dan ajaran-ajaran Ilahi sekaligus melindungi para pembawa panji-panjinya, demi menebarkan ajaran Islam dengan al-hikmah, almau’izhah al hasanah dalam suasana penuh aman dan kedamaian. Jihad disyariatkan Islam agar ajaran Islam tetap tersebar ke seantero dunia. Dakwah bagaikan air yang harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat manusia. Bila tidak disyariatkan jihad, maka kebatilan akan menggusur yang hak, kerusakan akan menghantui dunia, dan panji-panji Islam akan tumbang diserang kekufuran.

Diwajibkannya jihad bukan untuk ekspansi, intimidasi, kekuasaan, dan memperbudak umat manusia, tapi jihad disyariatkan untuk meluruskan yang bengkok, menebarkan keadilan, dan kesejahteraan di atas bumi ini. Dari sini, jihad dalam Islam dijadikan salah satu tonggak pengaman ajaran Islam dan memiliki kedudukan khusus dalam akidah dan ajaran Islam yang harus. Dijadikan sentral perhatian umat Islam dalam melaksanakan semua aktifitas kehidupannya.

3. Jihad Qitali di Bulan Ramadhan
Umat Islam sejak zaman Rasulullah saw. sangat memahami esensi bulan Ramadhan sebagai sarana pendidikan jihad fi sabilillah. Marilah kita lihat peristiwa besar yang menggambarkan jihad umat Islam untuk mempertahankan sepanjang masa pada bulan Ramadhan:

1. Perang Badar yang terjadi pada tangal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijrah. Perang Badar dianggap sebagai perang terbesar dan kemenangan terbesar yang diraih umat Islam di awal pertumbuhannya di Madinah.
2. Fathu Makkah yang terjadi pada tahun ke delapan hijrah. Jihad ini merupakan kemenangan untuk menghancurkan tuhan-tuhan berhala dan menancapkan panji kebenaran.
3. Pada Ramadhan tahun 9 Hijrah, Rasulullah saw. menerima utusan dari Tsaqif untuk membaiat Nabi Muhammad Saw.
4. Pada Ramadhan tahun 15 Hijrah, terjadi perang Qadisiyyah dimana orang-orang Majusi di Persia ditumbangkan.
5. Pada Ramadhan tahun 53 Hijrah, umat Islam memasuki pulau Rhodes di Eropa.
6. Pada bulan Ramadhan tahun 91, umat Islam memasuki selatan Andalusia (Spanyol sekarang)
7. Pada Ramadhan tahun 92 H., umat Islam keluar dari Afrika dan membuka Andalus dengan komandan Thariq bin Ziyad
8. Pada bulan Ramadhan tahun 132 H., Dinasti Umawiyah ditumbangkan dan berdirilah daulah Abbasiyah.
9. Pada bulan Ramadhan tahun 254 H., Mesir memisahkan diri dari daulah Abbasiyah dengan pimpinan Ahmad bin Thaulun.
10. Pada Ramadhan tahun 361 H., dimulainya pembangunan Masjid Al-Azhar yang kelak menjadi universitas Al-Azhar di Kairo.
11. Pada bulan Ramadhan tahun 584 H., Sholahuddin Al-Ayyubi mulai menyerang tentara Salib di Siria dan berhasil mengusir mereka.
12. Pada Ramadhan 658 H., Umat Islam berhasil menghancurkan tentara Tartar di perang “Ain Jalut”
13. Pada Ramadhan tahun 675 H., Raja Bebes dan tentaranya berhasil mengusir tentara Salib secara total.
14. Pada bulan Ramadhan 1393 tentara Mesir berhasil merebut terusan Suez dan mengusir tentara penjajah, Israel dari Sinai.

Demikianlah beberapa contoh peristiwa besar di bulan Ramadhan sepanjang sejarah umat Islam yang dipenuhi dengan nuansa jihad mempertahankan tegaknya dakwah Islamiyah di muka bumi ini.

4. Tuntutan Jihad Sekarang Lebih Luas
Ketika musuh-musuh Islam menyerang dengan berbagai macam cara untuk memadamkan cahaya agama Allah, kondisi ini menuntut umat Islam agar melakukan jihad dalam berbagai aspek kehidupan. Jihad terhadap hawa nafsu adalah jihad setiap saat bagi setiap muslim yang masih waras dan sehat. Jihad qitaali adalah wajib bila umat Islam diserang dengan senjata seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Bosnia, dan belahan bumi lainnya. Selain jihad nafsiy dan jihad qitaali, masih banyak lagi tuntutan jihad lainnya, sebanyak aneka ragam serangan musuh. Di antara jihad-jihad yang dituntut sekarang adalah:

1. Jihad tablighi, yaitu jihad dengan lisan untuk menyampaikan ajaran Islam dengan penuh hikmah, kelembutan, dan kesejukan. Kita diwajibkan tablighi ini sebagai jihad bil-lisan untuk meluruskan berbagai penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat.

2. Jihad ta’limi, yaitu jihad melalui pendidikan, baik formal atau Non formal. Saat ini umat Islam sangat dituntut untuk menekuni jihad ta’limi ini, karena sekolah-sekolah unggulan umat Islam masih perlu peningkatan kualitas dan kuantitas. Apalagi sekolah-sekolah yang dikelola pendidikan non Islam sarat dengan unsur-unsur yang bisa memadamkan semangat keislaman siswa.

3. Jihad Maali, yaitu jihad dengan harta dalam rangka menebarkan Syiar Islam, melindungi kaum fuqara’ dan masakin dari kekufuran yang mengintai mereka. Jihad maali ini sering disebut Al-Qur’an lebih daripada jihad binnafsi, karena:

Pertama, mengeluarkan harta lebih mudah dari pada berkorban dengan jiwa.
Kedua, jihad binnafsi membutuhkan biaya yang tak terbatas.
Ketiga, sebagian orang ada yang lemah jasmaninya atau merasa takut perang.
Keempat, para pemilik harta dianggap musuh sebagai kekuatan pendukung para mujahid.

4. Jihad Siyasi: yaitu jihad memperjuangkan Islam lewat politik, lewat pemilu, memilih anggota DPR/MPR untuk melakukan perubahan undang-undang kearah pemenangan dakwah Islamiyah.

Bulan Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan yang sangat istimewa bagi kita sebagai bangsa Indonesia, karena kita telah menghadapi perhelatan besar yaitu pemilu dan pemilihan presidan dengan wakilnya secara langsung. Sudah barang tentu umat Islam dituntut untuk meningkatkan jihad nafsi, jihad tablighi, ta’limi, siyasi dan jihad maali untuk pemenangan dakwah.
Wallahu a’lamu bis shawab.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan
Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA, Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI

Ramadhan udah hari ke-8, sebenarnya dari awal punya niat posting tulisan yang tahun lalu di copy paste dari milis keadilan4all (lama ngendap di hardisk)… Tulisan-tulisan tsb merupakan artikel materi Ramadhan dari sebuah buku yang ditulis oleh para ustad di IKADi (Ikatan Da’i Indonesia) yang di download oleh pak Hendra (moderator milist). Ada 30 artikel, sepertinya di setting 1 hari 1 materi….jadi telat nih. Mulai hari ini coba konsisten. Moga-moga bermanfaat.

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN (Bagian ke-1)
AGAR RAMADHAN PENUH RAHMAT, BERKAH, DAN BERMAKNA

Hari ini kita memasuki bulan suci Ramadhan. Banyak hikmah yang bisa kita petik di bulan suci dan mulia ini, yang semuanya mengarah pada peningkatan makna kehidupan, peningkatan nilai diri, maqam spiritual, dan pembeningan jiwa dan nurani.

Kewajiban puasa ini bukan sesuatu yang baru dalam tradisi keagamaan manusia. Puasa telah Allah wajibkan kepada kaum beragama sebelum datangnya Nabi Muhammad Saw. Ini jelas terlihat dalam firman Allah berikut, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah:183)

Ayat ini menegaskan tujuan final dari disyariatkannya puasa, yakni tergapainya takwa. Namun, perlu diingat bahwa ketakwaan yang Allah janjikan itu bukanlah sesuatu yang gratis dan cuma-cuma diberikan kepada siapa saja yang berpuasa. Manusia-manusia takwa yang akan lahir dari “rahim” Ramadhan adalah mereka yang lulus dalam ujian-ujian yang berlangsung pada bulan diklat itu.

Tak heran kiranya jika Rasulullah bersabda, “Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkn apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus” (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah). Mereka yang berpuasa, namun tidak melakukan pengendapan makna spiritual puasa, akan kehilangan kesempatan untuk meraih kandungan hakiki puasa itu.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Beberapa hal berikut ini mungkin akan bisa membantu menjadikan puasa kita penuh rahmah, berkah, dan bermakna:

Pertama, mempersiapkan persepsi yang benar tentang Ramadhan.
Bergairah dan tidaknya seseorang melakukan pekerjaan dan aktivitas, sangat korelatif dengan sejauh mana persepsi yang dia miliki tentang pekerjaan itu. Hal ini juga bisa menimpa kita, saat kita tidak memiliki persepsi yang benar tentang puasa.

Oleh karena itulah, setiap kali Ramadhan menjelang Rasulullah mengumpulkan para sahabatnya untuk memberikan persepsi yang benar tentang Ramadhan itu. Rasulullah bersabda, “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan. Allah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan doa. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan membanggakan kalian pada para malaikat-Nya. Maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari kalian. Karena orang yang sengsara adalah orang yang tidak mendapat rahmat Allah di bulan ini.” (HR. Ath-Thabrani).

Ini Rasulullah sampaikan agar para sahabat – dan tentu saja kita semua – bersiap-siap menyambut kedatangan bulan suci ini dengan hati berbunga. Maka menurut Rasulullah, sungguh tidak beruntung manusia yang melewatkan Ramadhan ini dengan sia-sia. Berlalu tanpa kenangan dan tanpa makna apa-apa.

Persepsi yang benar akan mendorong kita untuk tidak terjebak dalam kesia-siaan di bulan Ramadhan. Saat kita tahu bahwa Ramadhan bulan ampunan, maka kita akan meminta ampunan pada Sang Maha Pengampun. Jika kita tahu bulan ini bertabur rahmat, kita akan berlomba dengan antusias untuk menggapainya. Jika pintu surga dibuka, kita akan berlari kencang untuk memasukinya. Jika pintu neraka ditutup kita tidak akan mau mendekatinya sehingga dia akan menganga.

Kedua, membekali diri dengan ilmu yang cukup dan memadai.
Untuk memasuki puasa, kita harus memiliki ilmu yang cukup tentang puasa itu. Tentang rukun yang wajib kita lakukan, syarat-syaratnya, hal yang boleh dan membatalkan, dan apa saja yang dianjurkan.

Pengetahuan yang memadai tentang puasa ini akan senantiasa menjadi panduan pada saat kita puasa. Ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan kita untuk meningkatkan kwalitas ketakwaan kita serta akan mampu melahirkan puasa yang berbobot dan berisi. Sebagaimana yang Rasulullah sabdakan,

“Barang siapa yang puasa Ramadhan dan mengetahui rambu-rambunya dan memperhatikan apa yang semestinya diperhatikan, maka itu akan menjadi pelebur dosa yang dilakukan sebelumnya.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi).

Agar puasa kita bertabur rahmat, penuh berkah, dan bermakna, sejak awal kita harus siap mengisi puasa dari dimensi lahir dan batinnya. Puasa merupakan “sekolah moralitas dan etika”, tempat berlatih orang-orang mukmin. Latihan bertarung membekap hawa nafsunya, berlatih memompa kesabarannya, berlatih mengokohkan sikap amanah. Berlatih meningkatkan semangat baja dan kemauan. Berlatih menjernihkan otak dan akal pikiran.

Puasa akan melahirkan pandangan yang tajam. Sebab, perut yang selalu penuh makanan akan mematikan pikiran, meluberkan hikmah, dan meloyokan anggota badan.

Puasa melatih kaum muslimin untuk disiplin dan tepat waktu, melahirkan perasaan kesatuan kaum muslimin, menumbuhkan rasa kasing sayang, solidaritas, simpati, dan empati terhadap sesama.

Tak kalah pentingnya yang harus kita tekankan dalam puasa adalah dimensi batinnya. Dimana kita mampu menjadikan anggota badan kita puasa untuk tidak melakukan hal-hal yang Allah murkai.

Dimensi ini akan dicapai, kala mata kita puasa untuk tidak melihat hal-hal yang haram, telinga tidak untuk menguping hal-hal yang melalaikan kita dari Allah, mulut kita puasa untuk tidak mengatakan perkataan dusta dan sia-sia. Kaki kita tidak melangkah ke tempat-tempat bertabur maksiat dan kekejian, tangan kita tidak pernah menyentuh harta haram.

Pikiran kita bersih dari sesuatu yang menggelapkan hati. Dalam pikiran dan hati tidak bersarang ketakaburan, kedengkian, kebencian pada sesama, angkara, rakus dan tamak serta keangkuhan.

Sahabat Rasulullah, Jabir bin Abdullah berkata, “Jika kamu berpuasa, maka hendaknya puasa pula pendengar dan lisanmu dari dusta dan sosa-dosa. Tinggalkanlah menyakiti tetangga dan hendaknya kamu bersikap tenang pada hari kamu berpuasa. Jangan pula kamu jadikan hari berbukamu (saat tidak berpuasa) sama dengan hari kamu berpuasa.”

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dia mengamalkannya maka Allah tidak menghajatkan dari orang itu untuk tidak makan dan tidak minum.” (HR. Bukhari dan Ahmad dan lainnya)

Mari kita jadikan puasa ini sebagai langkah awal untuk membangun gugusan amal ke depan.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan Suci

Penulis: Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI


Klik tertinggi

  • Tidak ada

Flickr Photos

September 2007
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930

Komentar Terbaru

novianto pada CAPRES PRO UN
Kreatif Web pada Guru Makin Sejahtera Animo Jad…
Siwa pada GAJI GURU PNS
Anonymous pada GAJI GURU PNS
yd.i pada GAJI GURU PNS

Blog Stats

  • 44.287 hits