BERGERAK DAN BERGERAK

Archive for the ‘Talang Mamak’ Category

PROPOSAL

TEBAR HEWAN KURBAN 1428 H
DI DAERAH TALANG MAMAK

TEBAR HEWAN KURBAN 1428 H
DI DAERAH TALANG MAMAK
IKATAN DA’I INDONESIA
KABUPATEN INDRAGIRI HULU
Muqodimah

”Sungguh, Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkubanlah(sebagai ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh orang-orang yang membencimu dialah yang terputus(dari rahmat Allah)”

QS. Al Kautsar(108):1-3

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, shalawat dan salam kita sampaikan kepada Rasulullah SAW, para sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Perintah untuk berkurban pertama kali diberikan kepada Nabi Ibrahim AS dimana beliau diminta untuk menyembelih anaknya sendiri yakni Nabi Saleh AS. Namun akhirnya Allah menggantikannya dengan hewan khibas. Hal ini bermakna bahwasannya Allah ingin menguji keimanan nabi Ibrahim. Antara kecintaannya kepada Allah SWT atau kepada dunia (puteranya).

Bagi orang yang mampu diperintahkan untuk melaksanakan haji yang merupakan rukun Islam yang kelima. Tapi bagi kita yang belum sanggup menunaikannya dimintakan untuk mengorbankan hewan yang kemudian diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Dengan demikian kurban juga berfungsi membangun kepedulian sesama saudara yang kurang beruntung.

Pengurus Daerah IKADI Kabupaten Indragiri Hulu melihat begitu banyaknya hewan kurban yang dipotong dan diberikan oleh dan untuk orang yang berada diperkotaan. Dimana orang yang berkurban banyak jumlahnya sementara ada saudara kita yang berada di pelosok desa dan secara ekonomi banyak yang belum mampu untuk berkurban. Selain itu juga sering luput dari perhatian kita. Terutama di daerah Talang Mamak yang merupakan Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu. Oleh karenanya IKADI Kabupeten Indragiri Hulu mengajak kepada Bapak/ibu/Saudara/i untuk dapat melaksanakan kurban yang diperuntukkan untuk saudara kita di daerah Talang Mamak.

Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
Sebagaimana biasanya, pemotongan dan pemberian hewan kurban dilaksanakan bertepatan dengan hari raya Idul Adha yakni tanggal 10 Zulhijjah 1428 H atau beretepatan dengan tanggal 20 Desember 2007 dan dilaksanakan di tempat pemotongan yang di sediakan oleh masyarakat daerah Talang Mamak dan daerah yang belum mampu berkurban(berada di bawah garis kemiskinan) seperti Talang Lakat, Lemang dan Rantau Langsat, Usul, Pematang Karas, Talang Durian Cacar, Sindolas dan Talang Jerinjing, dll.

Tema Kegiatan
Kegiatan ini mengangkat tema: ”Bahagia Hati dengan Berkurban”

Peserta dan Bentuk Kegiatan
Acara ini berbentuk pengumpulan hewan kurban dari peserta kurban orang perorang maupun dari kelompok masyarakat yang ingin berkurban. Dalam hal ini IKADI bertindak sebagai fasilitator untuk menyebarkan hewan kurban kepada masyarakat daerah Talang Mamak atau daerah yang terisolir.

Pengadaan Hewan Kurban dan Pendanaan
Hewan kurban dapat berupa hewan siap potong yang dibeli oleh orang perorang maupun yang dihimpun oleh kelompok masyarakat ataupun juga pendaftaran orang perorang dengan maksud membeli secara kolektif/bersama.

Unit Satuan : 1 Peserta

1(satu)Kurban : Rp. 800.000,-

Transportasi : Rp. 50.000,-

Total 1(satu) Kurban : Rp. 850.000,-

Jumlah Peserta : 7 Orang

Harga Sapi : Rp. 5,950,000

Rekening :

No. 3367 0101 54 98 538

A/N. IKADI Kabupaten Indragiri Hulu

Bank BRI Unit Rengat Kota

Khotimah
Hanya Allah-lah yang akan membalas Ketulusan niat dan segala usaha yang kita lakukan semoga menjadi pahala di sisi Allah SWT Amien.

Rengat, 17 Zulqa’idah 1428 H
27 November 2007 M

PENGURUS DAERAH
IKATAN DA’I INDONESIA
KABUPATEN INDRAGIRI HULU

H. MISKAR HAMID, S.Ag RASULI ABDULLAH, SE
Ketua Sekretaris

Anak Suku Talang Mamak Belum Sekolah
Laporan Wartawan Kompas Agnes Rita Sulistyawaty

PEKANBARU, KOMPAS – Hingga hari ini, sebagian anak suku asli Talang Mamak di Provinsi Riau belum bisa menikmati pendidikan dasar karena tidak adanya sekolah. Sejumlah sanggar belajar pernah dibentuk oleh lembaga swadaya masyarakat, namun segera berakhir setelah waktu program LSM itu selesai.

Asisten Komunikasi Bukit Tigapuluh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI), Warsi Rahmadi, yang mengadvokasi suku Talang Mamak, Rabu (2/5), mengatakan dua desa yang ditempati suku Talang Mamak belum tersentuh pendidikan karena lokasi desa tersebut jauh dan sulit terjangkau. Kedua desa itu adalah Tuo Datai di Kecamatan Batang Gansal dan Durian Cacar di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu.

“Sanggar belajar yang pernah berjalan di desa Tuo Datai. Namun, sanggar yang dibentuk tahun 2005 itu hanya berlangsung beberapa bulan. Padahal, antusiasme masyarakat untuk belajar tergolong tinggi,” tutur Rahmadi.

www.kompas.com
http://www.kompas.co.id

» DETIKNEWS

Kamis, 20/04/2006 19:07 WIB
Yayasan Prayoga Sebarkan Agama ke Suku Pedalaman di Riau
Chaidir Anwar Tanjung – detikinet

Pekanbaru – Yayasan Prayoga boleh dibilang berhasil dalam misi siaran agama ke suku Talang Mamak di dalam hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Riau. Kini komunitas penduduk terbelakang itu sebagian besar telah memeluk agama Katolik.

Penyebaran pemahaman agama pada suku Talang Mamak di Riau memang lebih gencar dilakukan Yayasan Prayoga yang berpusat di Padang, Sumatera Barat. Yayasan ini merupakan perpanjangan tangan pusat Katolik di Roma. Kini misi siaran agama Katolik cukup berhasil dan lebih mudah diterima suku Talang Mamak.

Komunitas penduduk Talang Mamak di kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Riau diperkirakan ada 2.000 KK. Separohnya, mereka lebih memilih agama Katolik, sekitar 25 persen lagi agama Islam. Sisanya, masyarakat Talang Mamak masih menganut agama animisme.

Seorang guru Katolik, Yohanes Wantoro (37) mengaku sudah lebih dari 7 tahun tinggal di Dusun Siamang, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau dalam misi siaran agama. Selain penyebaran agama, dia juga merangkap sebagai guru sekolah di sana. Di dusun itu, terdapat lebih dari 50 KK Talang Mamak.

“Saya sudah lebih tujuh tahun bekerja di bawah Yayasan Prayoga Katolik untuk melakukan siaran agama, sekaligus sebagai guru sekolah buat anak-anak Talang Mamak,” kata Wantoro dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (18/4/2006) lalu.

Mengenalkan agama pada suku Talang Mamak, kata dia, sebuah pekerjaan yang perlu kesabaran. Apalagi sejak ratusan tahun silam, Talang Mamak hanya mengenal agama sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri.

“Kita perlu kesabaran dalam memberikan pemahaman agama pada mereka. Yang paling sulit dalam memberikan pengajaran agama ini, mengumpulkan mereka. Sebab, hidup mereka lebih banyak di dalam hutan,” kata Wantoro.

Wantoro mengaku, pengenalan agama Katolik di suku pedalaman ini, awalnya disiarkan langsung oleh pastor asal Franscis bernama Vite. Pastor Katolik itu berada di kawasan hutan TNBT sejak tahun 1985 hingga tahun 2003. “Proses keagamaan Katolik awalnya sudah dirintis oleh pastor asal Francis. Saya cuma meneruskan saja,” kata Wantoro.

Seluruh komunitas Talang Mamak dusun Siamang yang dulunya tidak memiliki agama, kini sudah menganut agama Katolik. Di dusun itu pun terdapat sebuah geraja berdinding papan sekaligus sebagai tempat sekolah anak-anak Talang.

“Kita beribadah setiap Senin malam Selasa. Ibadah pada malam hari ini terpaksa kita lakukan, karena siang hari mereka pergi ke hutan untuk berladang,” kata Wantoro.

Sementara itu, anggota DPRD Riau asal Indragiri Hulu (Inhu), Edi Ahmad RM, mengatakan, langkah yang dilakukan Yayasan Prayoga yang berkiblat ke Romaitu harus dukung semua pihak. Karena selama ini pemerintah sendiri terkesan mengabaikan siaran agama ke suku pedalaman di Riau. “Walau kabupaten Indragiri Hulu merupakan eks kekuasaan kerajaan Islam, kita tidak melarang ada siaran agama lain di sana,” kata Edi Ahmad. ( asy )

Suku Talang Mamak dan Kelestarian TN Bukit Tigapuluh
Kompas, Kamis, 18 Mei 2006
http://kompas.com/kompas-cetak/0605/18/teropong/2659273.htm
oleh: NELI TRIANA

Panas menyengat membakar kulit. Debu berterbangan masuk melalui jendela mobil yang membawa kami menyusuri jalan tanah sempit selama 35 menit dari Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, menuju tepi Sungai Gansal.

Jembatan dari susunan tual kayu utuh rata-rata berdiameter 50-70 sentimeter menyambut kami. Di bawah jembatan tampak tiga perahu kayu bermotor tempel 15 PK. Dengan perahu tersebut kami (tim media dan Komunitas Konservasi Indonesia-Warung Informasi) akan menyusuri sungai menuju permukiman Suku Talang Mamak.

Dalam perjalanan menembus Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) untuk bertemu suku Talang Mamak, ternyata kami dipertemukan pula dengan sesama “penguasa” hutan, yaitu suku Rimba atau sering disebut suku Anak Dalam.

Keberuntungan itu tertangkap ketika kami tiba-tiba menyadari kehadiran sekelompok orang Rimba yang menetap sementara di tepian sungai. Kelompok orang Rimba yang dipimpin Mareni (50) itu ternyata baru saja mendapat musibah, yaitu salah satu anaknya baru saja meninggal dunia. Sesuai dengan tradisi orang Rimba, pasca-upacara kematian anggota keluarga, mereka harus pergi mencari tempat tinggal sementara lainnya.

Melangun, demikian nama tradisi tersebut. Melangun adalah bagian dari ekspresi berkabung orang Rimba. Mereka tidak akan kembali ke tempat saudaranya meninggal hingga bertahun-tahun lamanya. Namun, jika kesedihan berakhir, tetap ada kemungkinan kembali menetap di lokasi itu, sedikitnya dalam empat-lima tahun.

Kelompok Mareni adalah bagian kecil dari komunitas suku Rimba yang tersebar di seluruh kawasan TNBT dan juga Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Mareni dan kelompoknya berjumlah sekitar 12-14 orang sengaja mendirikan tempat berlindung supersederhana, beralas susunan batang kayu beratap plastik hitam. Tenda-tenda sederhana berukuran 1,5 x 1,5 meter itu dibuat di tepian sungai, masing-masing satu untuk setiap keluarga.

Orang Rimba hidup nomaden, berpindah-pindah di dalam hutan dengan terus berupaya mencari hasil hutan nonkayu, seperti jernang, rotan, dan damar. Pada waktu-waktu tertentu mereka keluar dari hutan atau berjanji di lokasi tertentu untuk bertemu tauke (pengepul) dan menjual hasil pencarian mereka. Uang yang diterima akan digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya.

Di kedalaman hutan, para lelaki orang Rimba hanya bercawat dari lilitan kain. Para perempuan menggunakan kain sebatas pinggang bagi yang telah menikah dan sebatas dada bagi yang masih gadis. Tanpa alas kaki dan berbekal tombak sepanjang dua meter serta parang, orang Rimba berburu babi, landak, tikus, atau hewan-hewan lainnya. Semua buruan itu dimanfaatkan untuk makanan mereka. Mereka juga mencari hasil hutan nonkayu sebagai sumber tambahan penghasilan.

Kehidupan suku Rimba yang sekilas tertangkap setelah berkomunikasi dengan kelompok Mareni segera terekam di ingatan. Kesederhanaan mereka makin membuat kami bersemangat mencari tahu kehidupan saudara mereka sesama penghuni hutan, yaitu suku Talang Mamak.

Ada beberapa rute yang dapat ditempuh untuk mencapai Tuo Datai. Pertama, berjalan kaki menembus hutan selama lebih kurang 12 jam. Kedua, menggunakan sepeda motor mengikuti akses eks jalan hak pengusahaan hutan (HPH) hingga ke batas taman nasional, setelah itu berjalan kaki sekitar empat jam (nonstop) melalui jalan setapak.

Alternatif ketiga menyusuri Sungai Gansal. Menyusuri sungai menjadi pilihan kami. Sabtu 15 April lalu, kami mulai melawan arus Sungai Gansal.
Sungai ini sangat menawan. Berair jernih dan umumnya dangkal, hanya sebatas pinggang orang dewasa. Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih kehijauan akibat pantulan lumut di dasar sungai dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai.

Perjalanan cukup berat karena melawan arus dan sampan yang kami tumpangi sering kandas. Untuk itu, setiap penumpang harus rela turun berbasah-basah mendorong sampan. Di siang hari kami beristirahat di delta sungai yang terdiri atas batu-batu dan tetumbuhan keladi. Makan siang terasa nikmat di alam bebas ini.

“Inilah hutan sebenar-benarnya,” seru seorang teman. Memang pemandangan sungguh menakjubkan, indah dan alami. Sejenis monyet berbulu abu-abu kelam dan putih di bagian perut tampak asyik bergelayutan di pohon-pohon. Burung beo, murai hutan, dan jenis lainnya berterbangan dan sesekali memperdengarkan kicauan merdunya.

Alam sekitar diramaikan bunyi belalang dengan sayap berwarna biru tua metalik, merah tua, dan juga kuning. Mereka terbang mengiringi perahu kami sepanjang perjalanan. Cantik!
Sabtu sore menjelang magrib kami tiba di Desa Siambu, salah satu hunian suku Talang Mamak yang telah memeluk Islam dan menamakan diri mereka masyarakat Melayu. Mereka tinggal di rumah panggung dengan keseluruhan bangunan dari papan kayu dan beratap seng.

Masyarakat Melayu, seperti halnya penduduk pedesaan umum di daerah ini, hidup dari hasil ladang, seperti karet dan petai. Aliran listrik dari PLN belum menyentuh desa ini. Namun, kini sebagian warga telah memiliki mesin diesel pembangkit listrik berbahan bakar bensin. Dengan televisi mereka memang sudah akrab meski tak satu siaran stasiun televisi pun tertangkap. Selain lampu yang menyala di malam hari, house music atau film pun sudah bisa dinikmati dengan menggunakan alat pemutar VCD.

Talang Mamak
Perasaan lega menyelimuti ketika akhirnya kami dapat menapak masuk perkampungan Talang Mamak di Tuo Datai. Rumah-rumah panggung dari papan kayu mirip perkampungan Melayu di Siambu ditemukan di Tuo Datai.

Bertelanjang dada dan becelana pendek, Tetua Talang Mamak, Sidam, menyambut kami. Menyalami kami satu per satu dan menanyakan nama serta kampung asal kami.
“Sidam, tetapi panggil saja Pak Katak. Kami sudah sering mendengar nama-nama daerah asal kalian, tetapi belum pernah kami mengunjungi,” kata laki-laki berusia lebih dari 60 tahun itu sambil tersenyum.

Pak Katak menyilakan kami semua beristirahat di balai pertemuan. Bangunan ini berupa rumah panggung besar dengan ruangan tak bersekat berukuran sekitar 8 x 8 meter dan terdapat dua kamar yang hanya dibatasi dinding setinggi dada orang dewasa. Balai pertemuan ini adalah bekas gereja yang dibangun oleh misionaris Kristen beberapa tahun lalu.

Pak Katak menyatakan, mereka tidak mau memeluk agama apa pun karena mereka telah memiliki keyakinan. Mereka mengakui Nabi Muhammad SAW, tetapi mereka mempunyai cara sendiri dalam berhubungan dan melaksanakan ritual keyakinannya. Namun, ia mengatakan, apabila ada warganya yang memeluk agama lain, itu adalah hak masing-masing.

Sebagai contoh, sekitar 13 kepala keluarga di Desa Siamang, satu hari perjalanan mengarungi Batang Gansal ke arah Desa Rantau Langsat, ditemukan komunitas suku Talang Mamak yang beragama Katolik.

Terlepas dari kehidupan beragama mereka, masyarakat Dusun Tuo Datai masih memegang erat tradisi Talang Mamak dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan dan hukum adat berlaku bagi sekitar 70 keluarga yang menetap di dusun itu, meski tempat tinggal mereka terpisah-pisah sesuai letak ladang yang mereka garap dengan jarak tempuh dua jam hingga satu hari berjalan kaki dari Tuo Datai.

Dusun Tuo Datai, menurut Pak Katak, sudah ada sejak masa penjajahan Belanda dan dibangun oleh masyarakat yang ingin menjauhkan diri dari peperangan. Suku ini tergolong Melayu Tua atau Proto Melayu yang merupakan suku asli Indragiri.

Masyarakat suku ini tersebar di empat kecamatan, yaitu Batang Gansal, Cenaku, Kelayang, dan Rengat Barat, Indragiri Hulu, Riau. Terdapat satu kelompok lagi yang menetap di Dusun Semarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumai, Kabupaten Tebo, Jambi.

Warga Talang Mamak sudah hidup menetap dan sebagian besar menggantungkan kecukupan kebutuhan sehari-hari dengan berladang beringsut (berpindah dalam radius tertentu), menakik karet, dan mengambil hasil hutan nonkayu, seperti suku Rimba. Rata-rata mereka tidak mengenal sekolah.

Hanya ada satu sekolah swasta di Desa Siamang dan sebuah Sanggar Belajar Datai di Tuo Datai. Namun, sanggar belajar yang difasilitasi Program Konservasi Harimau Sumatera ini kini terbengkelai karena ditinggal pergi gurunya.

Listrik juga belum menyentuh dusun ini. Akan tetapi, seperti halnya di Desa Siambu, sudah ada diesel pembangkit listrik di salah satu rumah.

Sebagian warga tampak telah mengenakan pakaian lengkap, bercelana panjang atau pendek, berbaju kaus atau berkemeja. Modernisasi yang sedikit demi sedikit merasuk dan tradisi yang kuat memang terpadu di dusun ini.

Mereka tidak risau akan hal ini karena dunia semakin maju dan pengaruh luar memang dipahami tidak dapat ditolak begitu saja. Hanya saja, tameng kekuatan adat atas diri dan pikiran mereka begitu kuat sehingga tidak akan kandas begitu saja karena pengaruh luar. Semua dapat berjalan selaras jika kontrol ada dalam diri masing-masing.

Masyarakat Talang Mamak di Datai ini sudah memahami mereka tinggal dalam kawasan hutan yang termasuk TNBT. Pak Katak menyatakan, warga Datai telah ada sebelum TNBT dibentuk dan mereka telah melestarikan hutan sebelum program pelestarian dengan pencanangan taman nasional dimulai.

Warga Datai dan juga Talang Mamak umumnya percaya pada bersemayamnya roh-roh leluhur di kawasan hutan. Mereka juga yakin hutan berperan penting dan mendominasi kehidupan sosial ekonomi dan budaya warga Talang Mamak. Karena itu, hutan harus dijaga dan dimanfaatkan secara arif.

Berdasarkan kepercayaan itu, terdapat kawasan-kawasan tertentu di sekitar perkampungan yang tidak boleh dibuka untuk ladang, kebun, atau permukiman. Salah satu kawasan keramat adalah Hutan Manggis Bajuhang. Hutan yang dibiarkan alami tanpa campur tangan manusia ini diyakini menjadi penyeimbang bagi kehidupan masyarakat.

Di Datai memang tidak lagi ditemui tradisi mengagungkan pemimpin, seperti menyembah kepala suku atau raja, sistem kebatinan pun sudah tidak ada lagi. Umumnya mereka hidup otonom dalam beraktivitas. Namun, tradisi adat masih kental dirasakan, terutama pada saat perayaan pernikahan (gawai), pengobatan penyakit oleh dukun (kemantan), dan acara 100 hari kematian (tambat kubur).

Terancam
Kehidupan warga Datai yang begitu sederhana bersandar pada alam kini makin terusik oleh ancaman dari luar. Okupasi liar dan besar-besaran di kawasan penyangga TNBT berimbas pada kehidupan sehari-hari masyarakat Talang Mamak.
“Suara harimau jarang terdengar. Damar sudah habis. Binatang buruan pun sulit didapat,” kata Pak Katak. Menurut dia, harimau menjadi pertanda alam. Ketika hutan terusik, harimau pun malas menetap dan memilih hengkang.

Sejak tahun 1997, kawasan penyangga TNBT khususnya di Desa Keritang, Kecamatan Kemuning, Indragiri Hilir, hingga Rantau Langsat, Indragiri Hulu, terusik praktik okupasi liar oleh warga setempat dan pendatang.

Lahan eks HPH yang telah menipis kandungan tegakan pohonnya kian dirusak akibat adanya penebangan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan. Keanekaragaman hayati dalam kawasan penyangga yang seharusnya menyokong kelestarian TNBT kandas.

Di seluruh TNBT dan kawasan penyangganya banyak ditemui lokasi air terjun, antara lain Air Terjun 86 di Desa Keritang. Kawasan hutan TNBT juga ditumbuhi Cindawan Muka Rimau (Rafflesia Arnoldi) yang sangat diminati turis asing. Di kawasan Hutan Manggis Bajuhang yang dilestarikan suku Talang Mamak terdapat danau yang sangat asri dan indah.

Selain itu, potensi ekowisata dapat tergali saat penyusuran Batang Gansal. Di sepanjang sungai ini ditemui Sigulang-gulang Melenai atau jeram yang tidak terlalu terjal, yang terdiri atas tiga tingkatan dengan ketinggian masing-masing sekitar dua meter. Air terjun bertingkat ini serasi dengan hutan alam teduh di sekitarnya.

Senin pagi, 17 April 2006, saat melepas kepergian kami keluar dari Tuo Datai, Pak Katak menyampaikan pesannya agar diteruskan ke pemerintah setempat maupun pusat. Ia ingin masyarakat Talang Mamak diperhatikan kesejahteraannya.

Mereka adalah penjaga alam yang tidak ingin hutannya rusak. Namun, mereka tidak berdaya jika harus berjuang sendirian. ***

Sumber : <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/20/tanahair/3027783.htm>

Senin, 20 November 2006
Talang Mamak, Bertahan di Tengah Kegamangan
Neli Triana

Perjalanan Kompas akhir September lalu sembari menjalani puasa pada awal Ramadhan diliputi keberuntungan. Keinginan melihat dari dekat kehidupan suku Talang Mamak tertua di Dusun Durian Cacar ternyata berbuah “bonus”. Tepat di pusat hunian Talang Mamak itu tengah dilangsungkan pesta adat besar, perkawinan dua pasang muda-mudi dan sunatan dua anak laki-laki.

Menyaksikan pesta adat salah satu suku terasing di Riau dan masyarakat asli penghuni Hutan Bukit Tigapuluh yang bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh bukan hal mudah. Keterpencilan daerah itu dan tidak adanya sarana komunikasi modern yang sanggup menjangkaunya menyebabkan informasi apa pun dari dusun ini selalu terlambat diterima dunia luar. Tidak tanggung-tanggung, selama tiga hari tiga malam kami pun melahap semua suguhan pesta adat tersebut.

Tubuh berpeluh penuh debu, sementara badan pegal-pegal karena tiga jam duduk di atas sepeda motor melintasi jalan tanah lintas perkebunan dari Pematang Reba menuju Dusun Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, saat itu. Sebelumnya, sekitar empat jam kami harus tepekur di atas travel (sebutan untuk kendaraan wisata) dari Kota Pekanbaru menuju Pematang Reba.

Durian Cacar terletak di tengah kawasan hutan yang hampir seluruhnya telah terbuka. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit begitu nyata merambah dusun ini. Ladang dan kebun karet warga Talang Mamak terkucil di antara perkebunan sawit yang sebagian besar dikuasai warga pendatang, kaum transmigran asal Jawa, Batak, serta sebagian kecil warga Minang.

Keramaian pesta tiba-tiba mengusir keheningan. Dusun kecil itu lebih tampak sebagai pasar dadakan daripada permukiman. Mengelilingi lapangan tepat di depan balai adat yang berupa rumah panggung besar, beberapa pedagang menggelar dagangannya. Mereka menjual aneka makanan ringan dan minuman kaleng. Selain itu, ada pula pedagang keliling penjual aksesori perempuan, mulai dari jepit rambut sampai kosmetik harga murah meriah.

Suasana “pasar malam” itu kontras dengan situasi di dalam balai adat. Rumah panggung ini berupa ruang tanpa sekat berukuran sekitar 15 meter x 15 meter. Seluruh bangunan berasal dari susunan papan kayu dengan sebagian atap telah dilapisi seng. Di sisi kanan, ruang yang ada menyatu dengan dapur besar berukuran 5 meter x 5 meter. Semua kegiatan berlangsung di rumah ini: memasak, makan, tidur, berkumpulnya para tetua adat membicarakan masalah intern suku, bahkan upacara pernikahan dan sunatan.

Kompas dan seorang teman dari Konsorsium Konservasi Indonesia-Warung Informasi (KKI-Warsi) disambut hangat para tetua adat serta masyarakat setempat. Satu per satu kami berkenalan dengan para petinggi itu. Sebagian tampak berpeci dan hampir tidak dapat dibedakan dengan masyarakat desa pada umumnya. Hanya satu dua saja tokoh yang dituakan dan mengenakan “tikuluk”, kain yang dibebatkan khas untuk penutup kepala.

Para perempuan muda dan kaum laki-lakinya sudah mengikuti tren mode terkini. Celana jin panjang hingga menyapu tanah dan kaus pas badan. Beberapa ibu tampak masih setia mengenakan kain—yang menyelimuti sebagian tubuhnya—mulai dari pinggang hingga sedikit di bawah lutut.

Kawin campur
Pasangan pengantin pada hari itu adalah Sunardi (19)-Inuh (16) dan Leper (19)-Kurnia (17). Pasangan pertama sama-sama dari suku Talang Mamak, sementara pengantin perempuan pada pasangan kedua berasal dari suku Sunda yang menetap di Dusun Utama, berbatasan dengan Durian Cacar. Kurnia mengikuti orangtuanya sebagai transmigran.

Cinta memang menyatukan segalanya, seperti halnya Leper dan Kurnia. Kurnia pun tak canggung mengikuti adat calon suaminya meski diakui begitu berbeda dengan budayanya.
Yang paling menarik adalah pakaian yang mereka kenakan. Pengantin laki-laki maupun remaja yang hendak disunat mengenakan celana jins atau celana kain dengan kemeja lengan pendek motif suka-suka. Dari sepatu bola yang dipakai atau sandal gunung, jam tangan hingga peci, dipastikan adalah barang yang baru saja dibeli.

Selempang dari tiga helai kain warna-warni menghiasi pundak. Payung warna merah menyala dihiasi pernak-pernik keemasan dibawa laksana tongkat. Peci antara lain dihiasi jepit-jepit mungil aneka warna.

Mempelai perempuan berdandan tak kalah seru. Riasan wajah lengkap, mulai dari pemerah bibir hingga maskara (untuk melentikkan alis mata). Mereka memakai lilitan kain sebagai bawahan penuh dengan jalinan benang emas. Salah satu mempelai perempuan mengenakan penutup kepala mirip pakaian adat Minang, Sumatera Barat. Satu orang lagi menggelung rambutnya dan memasang beberapa hiasan rambut keemasan.

“Mereka adalah raja dan ratu dalam tiga hari ini. Pakaian dan riasan menandakan itu semua. Kini tidak ada lagi kain kulit kayu. Itu hanya untuk orang-orang tua pendahulu kita. Sekarang mereka berdandan seperti masa kini. Hanya saja jalannya prosesi tetap harus sesuai dengan ketentuan adat,” kata Laman.

Laman adalah mantan Patih, pemimpin tertinggi yang membawahi masyarakat Talang Mamak di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) hingga ke Dusun Tuo Datai yang berada di dalam kawasan taman nasional.

Menurut Laman, selama tiga hari tiga malam muda-mudi Talang Mamak saling melirik dan mencari pasangan. Bertandang, demikian sebutan untuk usaha pendekatan antara remaja yang sama-sama melajang itu. Ketika menemukan tambatan hati, pihak laki-laki kemudian memberi tanda jadi berupa barang apa saja, antara lain baju.

Dengan berseri-seri, perempuan yang telah mendapatkan tanda jadi melaporkan hal itu kepada ibunya. Keluarga perempuan pun menaksir kesungguhan calon menantunya. Jika sudah merasa yakin, si laki-laki diundang ke rumah perempuan dan boleh bermalam beberapa hari hingga maksimal tiga bulan. Akhirnya tanggal pernikahan ditentukan setelah keluarga laki-laki dan perempuan bermusyawarah.

Perhelatan di hari pertama adalah basajak adat, dilanjutkan dengan bebanggah pada malam kedua, dan hari terakhir, yaitu panggil sorot. Basajak adat merupakan acara kumpul bersama saling tukar nasihat bagi kedua mempelai, dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Selanjutnya, mempersatukan kesepakatan semua sesepuh adat dengan bergiliran meminum air dari satu wadah mirip gentong. Air di dalam wadah tersebut telah dibacakan doa oleh salah satu tetua adat. Menghirupnya dari suluh pohon, menandakan persetujuan semua pihak atas perkawinan tersebut.

Pada hari terakhir acara didahului dengan makan bersama secara adat. Lauk dan nasi dihidangkan. Para laki-laki duduk berkeliling, terpisah dari perempuan. Kemudian pengantin laki-laki bergiliran meminta doa dari masing-masing tetua adat. Setelah restu didapatkan, beriringan dengan pengantin perempuan, mereka pun menghirup suluh meminum air bersama tanda mereka sah menjadi suami-istri.

Seperti yang diungkapkan Laman, selama tiga hari kami juga menyaksikan keramaian, hiruk-pikuk, serta kegembiraan masyarakat Talang Mamak. Di pagi hari arena lapangan depan balai adat sudah riuh dengan kelompok-kelompok masyarakat yang adu ayam.

Taji pasangan berupa bilah pisau diikat kuat di kaki ayam jago masing-masing. Uang taruhan dikumpulkan dan permainan pun dimulai hingga salah satu ayam dipastikan mati penuh luka di sekujur tubuhnya. Kalah atau menang semua bergembira. Si pemenang mendapat uang serta ayamnya bakal berharga tinggi dalam taruhan-taruhan berikutnya.

Yang kalah harus merelakan bangkai ayam jagoannya berakhir di kuali. Ayam-ayam tersebut dikuliti, dipotong-potong, dan dimasak oleh para ibu di dapur umum di belakang balai adat. Berpuluh kilogram nasi dimasak lengkap dengan sambal dan lauk lainnya. Siang hingga malam selama tiga hari itu, ayam adalah lauk favorit utama dan dicari semua orang.

Hasing googling tentang suku Talang Mamak- di Indragiri Hulu

sumber : <http://ciptakarya.pu.go.id/_pbl/orientasi_lokasi.htm>

==================

ORIENTASI LOKASI

Kawasan Suku Talang Mamak terletak di Kecamatan Kelayang, Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau. Lokasi dapat ditempuh melalui jalan darat dari Rengat (Ibukota Indragiri Hulu) dalam kondisi kering ± 3 jam. Dalam keadaan hujan jalan tersebut akan lumpuh / sulit dilalui, karena sangat licin dan berlumpur.

KILAS BALIK
Suku Talang Mamak konon merupakan suku Melayu Asli yang berasal dari daerah Gunung Merapi Sumatera Barat. Akibat terdesak oleh penyebaran Agama Islam, masyarakat Talang Mamak kemudian bermigrasi dan menetap di lereng pegunungan dan pedalaman hutan Indragiri Hulu, keberadaannya hingga saat ini cenderung terisolir dan tertinggal, terutama dalam hal perkembangan sosial dan ekonomi. Suku Talang Mamak juga sering disebut sebagai Suku Langkah Lama atau Suku Anak Dalam. Talang Mamak mengandung arti Tempat yang Terhormat, yaitu kata Talang berarti tempat atau ladang, dan Mamak berarti kerabat dari Ibu yang harus dihormati.

KONDISI GEOGRAFIS
Tapak umum kawasan adalah ladang perbukitan dengan ketinggian bervariatif mulai dari 10 m hingga 450 m DPL dengan jenis kelandaian campuran yang terdiri atas dataran, perbukitan bergelombang kasar, maupun halus. Temperatur lokal berkisar 22o C hingga 32o C dengan curah hujan rata-rata 1000 mm hingga 2500 mm.

DINAMIKA MASYARAKAT
Pola kehidupan masyarakat Suku Talang Mamak sangatlah sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat Talang Mamak hanya memanfaatkan apa yang dihasilkan di pekarangan rumah dan ladang, serta melakukan perburuan dan penangkapan ikan di sungai. Hasil dari berladang, berburu dan menangkap ikan akan dikonsumsi sendiri, sedangkan hasil menakik (menyadap) karet akan dijual melalui seorang perantara untuk dibawa ke produsen yang lebih besar.
Kegiatan bertani dilakukan dengan sistem ladang berpindah. dimana mereka masih mempercayai akan kekuatan gaib yang kuat dan berpengaruh pada pola perpindahan dan pembukaan ladang serta penentuan hari bercocok tanam.

IDENTITAS KULTUR
Rumah Panggung beratap rumbia dengan celah intip berdinding kayu dan berlantai bambu, serta elemen-elemen lainnya seperti lumbung padi yang memiliki bentuk yang khas.
Beberapa bentuk ritual kebudayaan yang masih melekat kuat dalam tradisi mereka diantaranya gotong royong, Upacara Bersunat dan mengasah gigi, upacara perkawinan adat yang disertai dengan atraksi sabung ayam dan pencak silat, upacara naik tambak, cuci lantai, serta upacara kematian dan pemakaman.

POLA PERMUKIMAN
Permukiman Suku Talang Mamak amat menyebar, dimana permukiman yang satu dengan permukiman yang lainnya relatif terpencar dengan jarak yang sangat berjauhan serta terisolir dengan keterbatasan transportasi dan aksesibilitas, termasuk komunikasi.
Bangunan-bangunan permukiman umumnya memiliki bentuk yang amat sederhana, dengan penggunaan bahan bangunan setempat yang diolah dan dibuat sesuai kebutuhan.

Gambaran Kegiatan Penanganan
Pengembangan Dusun Talang Mamak dilakukan dengan landasan visi mewujudkan masyarakat yang berjati diri, produktif, mandiri, dihormati dan diakui keberadaannya oleh masyarakat lain, dengan misi (1) memberikan cukup kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan kreativitas pembaharuan (cultural freedom) sehingga terbuka dan mampu bersaing dengan “dunia luar”; (2) pengembangan identitas lokal melalui pelestarian budaya / adat-Istiadat; (3) pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan para kelaku kunci lainnya; serta (4) menciptakan iklim yang kondusif melalui kegiatan yang bersifat fasilitatif dan konsulatif.

Lingkungan permukiman dikembangkan melalui konsep “pusat pertumbuhan” pada titik sentral permukiman, Pembangunan prasarana dan sarana pada “pusat pertumbuhan” ini diharapkan dapat mendorong/menarik masyarakat untuk mendekatkan diri pada “pusat pertumbuhan”, guna mendorong sosialisasi yang lebih intensif antar masyarakat Talang Mamak yang selama ini cenderung saling mengasingkan diri / berjauhan satu sama lain.

Dalam mendukung pengembangan sumber daya manusia, direncanakan pula pengembangan sarana usaha dalam bentuk pasar-pasar, sarana pendidikan, sarana kesehatan, serta peningkatan prasarana lingkungan yang meliputi air bersih, listrik dan komunikasi.
Penentuan prioritas sarana-prasarana tersebut sepenuhnya dimulai dari usulan masyarakat setempat yang dihimpun dari kegiatan rembug warga.

Adapun beberapa bentuk kegiatan pelaksanaan fisik sarana-prasarana yang telah berhasil diwujudkan diantaranya pembangunan pasar desa, peningkatan perkerasan jalan setapak, pembangunan MCK dan sumur gali, rehabilitasi pusat adat, serta rehabilitaasi musholla.


Klik tertinggi

  • Tidak ada

Flickr Photos

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Komentar Terbaru

novianto pada CAPRES PRO UN
Kreatif Web pada Guru Makin Sejahtera Animo Jad…
Siwa pada GAJI GURU PNS
Anonymous pada GAJI GURU PNS
yd.i pada GAJI GURU PNS

Blog Stats

  • 44.287 hits