BERGERAK DAN BERGERAK

Archive for the ‘Taujih’ Category

– dakwatuna.com – http://www.dakwatuna.com

3 Langkah Menjadi Manusia Terbaik

Posted By Mochamad Bugi On 17 Nopember 2008 @ 18:40 In Syarah Hadits | 2 Comments

dakwatuna.com – Ada hadits pendek namun sarat makna dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan bebasnya: sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.

Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi tergolong hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir sependapat dengan penilaian Suyuthi.

Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua saling berketergantungan. Saling membutuhkan.

Karena saling membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.

Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang curang dan melanggar hak orang lain.

Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.

Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih. Tidak punya vested interes.

Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw. menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan. Pertama, karena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw. pernah bersabda yang bunyinya kurang lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?

Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang terbaik. Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu bisa menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak heran jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah sepuh dan tidak ada yang merawat, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.

Ketiga, karena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.

Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa pamrih, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.

Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.

Untuk bisa menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.

Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.

Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.

Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw. mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.

Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja menginfakkan uang yang mereka miliki. Sampai sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.

Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.

Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban seorang nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosialisasi, dengan begitu kita bisa hadir untuk orang-orang di sekitar kita.

Mudah-muhan yang sedikit ini bisa menginspirasi.

Tulisan yang “provokatif”…

sumber : http://www.dakwatuna.com/index.php/fiqh-dawah/2008/kembangkan-diri-anda-jika-tidak-matilah/print/

27/3/2008 | 20 Rabiul Awal 1429 H | Hits: 529

Kembangkan Diri Anda, Jika Tidak Matilah!

Oleh: Tim dakwatuna.com

dakwatuna.comTanmiyah (perkembangan) asal katanya dari namaa yang bermakna terus bertambah banyak dan makna lainnya adalah tumbuh secara fisik bak tumbuh-tumbuhan dan jasad manusia. Akan tetapi istilah tanmiyah ini biasa digunakan pada bidang ekonomi dan perindustrian di masa kiwari. Dan orang selalu melekatkan pengembangan ini dengan pengertian ke arah industri dan perekonomian. Dalam ungkapan masyarakat modern saat kini istilah tanmiyah sering disebut dengan ‘pertumbuhan bidang pertanian, ekonomi, industri dan perbankan’.

Ajaran Islam memandang bahwa pengertian tanmiyah mencakup semua bidang garapan kehidupan. Karena kehidupan ini menurut ajaran Islam senantiasa berkembang secara sempurna, bertahap dan seimbang. Bahkan sudah menjadi kemestian di alam semesta ini (hatmiyatul alamiyah). Sebab itu jika tidak ada perkembangan dalam hidup ini maka hidup ini dinilai stagnan, mundur dan terbelakang dan hal kemudian dapat menyebabkan cepat binasa. Karena itu Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid dalam Ar Raqaiq menyatakan bahwa ‘bila tidak ada jalan tanmiyah maka yang ada hanyalah jalan menuju kejumudan’.

Dalam pandangan Islam, At Tanmiyah merupakan pemahaman yang universal dan sempurna. Dan kedudukan tanmiyah ini sebagai pembangun motivator untuk merealisasikan keuniversalan ajaran-Nya. Sebagaimana dalam arahan Rasulullah saw. tentang dinamika waktu. Beliau menyatakan, “Siapa yang hari esok dan hari ini sama dengan hari kemarin sungguh ia telah merugi.” Arahan itu semakin memperbesar voltase motivasi pengembangan hingga tidak lagi memperhitungkan efektivitas waktu sebagaimana juga dalam sabda Rasulullah saw., “Jika esok hari kiamat datang sedang di tangan seseorang ada sebuah bibit, maka tanamlah.”

Dalam riwayat lainnya, Umar Ibnul Khaththab r.a. memarahi seseorang yang masih berada di dalam masjid sementara yang lainnya sudah pergi ke tempat pekerjaannya masing-masing. Umar amat murka kepadanya dan menghadiknya, “Berdirilah kamu! Agama ini tidak akan mati oleh orang sepertimu, dan semoga Allah mematikanmu.” Kemarahan Umar ini lantaran orang tersebut stagnan dalam menjalani hidupnya. Bagai tak memiliki kemauan menyambut hidup.

Tidak ada indikasi dinamika perkembangan hidup yang dijalaninya. Apalagi agama ini tidak hanya diselesaikan dengan memutar-mutar tasbih di atas sajadah saja. Melainkan perlu juga keluar untuk menyaksikan fenomena alam dengan segala karunia-Nya.

Tanmiyah dalam ajaran Islam mempunyai hubungan yang mutlak antara kemurnian ajaran ini dengan perkembangan jagat raya. Artinya bahwa perkembangan yang terjadi di alam semsta ini merupakan bukti keautentikan ajaran Islam yang dapat dipahami sebagaimana perjalanan zaman. Bukan pemahaman yang menyatakan bahwa perkembangan alam ini yang terus terjadi menjadikan ajaran ini perlu diaktualisasi agar dapat menjawab perkembangan zaman. Jelas pandangan ini amat keliru dan salah dalam menempatkan Islam sebagai ajaran samawi.

Seorang pujangga mengingatkan:

Zaman yang tak pernah henti berlari

Alam bergerak tak kenal lelah

Angin selalu menyapa bersama desiran kencangnya

Itu karna aturan Sang Perkasa Nan Kuasa

Mengatur dengan rapi dan elok

Tuk hidup sejahtera bagi alam raya

Aspek Tanmiyah Dalam Pandangan Tarbiyah Islamiyah

Tarbiyah sebuah upaya untuk mencapai pembentukan pribadi yang siap memikul tugas dakwah sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga senantiasa memproduk tokoh-tokoh masa terus menerus. Bagai pohon yang selalu panen tak kenal musim. Untuk itu tak bisa dihendari bahwa tarbiyah ini harus menghantarkan ke arah tanmiyah sesuai dengan dinamikanya. Al Ustadz Fathi Yakan dalam Nahwa As Shahwah Al Islamiyah Fi Mustawa Al Ashr memandang bahwa tanmiyah (perkembangan) dalam pandangan Tarbiyah Islamiyah harus mencakup beberapa aspek untuk memenuhi unsur tuntutan zaman, yakni:

1. Pengokohan Keimanan

Perkembangan yang mesti dimiliki orang yang beriman adalah pengokohan keimanan. Dan iman ini harus selalu tumbuh berkembang. Keimanan bagi orang mukmin mesti dalam grafik yang meningkat. Tidak boleh ada celah statis. Sehingga mereka berupaya agar dinamika iman ini terus berkembang. Tentu dengan memberikan komsumsinya yang selalu meningkat taraf kualitas dan kuantitasnya. Agar tidak ada kegagalan dalam keimanan. Sebab setiap ada kegagalan dalam menumbuhkan keimanan akan berdampak negatif dalam kehidupan, perilaku manusia, masyarakat dan keseluruhan dinamika umat.

Rasulullah saw. mengingatkan bahwa tidak akan mencuri, orang yang beriman, tidak akan berzina, orang yang beriman dan tidak akan berdusta, orang yang beriman. Tampaknya beliau memberikan format jelas kepada kita bahwa kegagalan tanmiyah bagi keimanan bisa berakibat buruk dan tidak akan terjadi keburukan selama keimanan ini berdiri tegar. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa tamu dari Yaman terheran-heran menyaksikan kondisi Madinah yang lenggang saat shalat tiba. Penduduk Madinah meninggalkan begitu saja perniagaan, ladang perkebunan, dan rumah mereka. Tamu tersebut bertanya, “Apakah aman negeri ini sehingga mereka tinggalkan saja hartanya tanpa takut diambil orang?”

Begitulah ketika keimanan ini semakin kokoh. Siapa pun mereka tak akan merasa cemas bila keimanan tersebut masih berdiri kuat. Tapi sebaliknya kecemasan dan ketakutan menjadi pakaian mereka saat keimanan itu tidak lagi bersemayam di hati mereka. “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (An-Nahl: 112)

Oleh karena itu Allah swt. mengingatkan kita semua agar selalu meningkatkan stamina keimanan

dengan memperhatikan aspek tumbuh kembangnya melalui kiat-kiat yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfaal: 2 – 3)

2. Perkembangan Ilmiah

Islam sangat memperhatikan perkembangan ilmiah. Semakin bergulirnya zaman semakin tumbuh kembangnya dinamika keilmuan. Ini selaras dengan kebutuhan yang dharuri dari hidup manusia. Bila kita cermati guliran waktu dapat kita temukan perkembangan ilmu. Saat ajaran Islam mulai merambah ke pelosok jazirah maka dengan itu berkembang pula dinamika ilmu. Demikian pula saat Islam menginjakkan kakinya di belahan dunia maka semakin pesat pula tumbuh kembangnya ilmu ini. Jadi semakin komplek masalah yang dihadapi manusia semakin berpeluang untuk berkembangnya. Yang pada masa dahulunya tidak ditemukan penyibakan misteri alam raya. Bila upaya penemuan problematika kehidupan makin memperlebar ruang berkembangnya ilmu.

Karena ilmu dalam prespektif Islam merupakan alat bantu kehidupan manusia. Dan yang lebih penting lagi adalah pintu paling luas untuk menuju keimanan dan mengetahui aturan-aturan Allah swt. Dan dengan ilmu pula dapat memikirkan penciptaan langit dan bumi sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan hingga mendekatkan dirinya pada Sang Maha Pencipta. Kondisi semacam itu bisa tercapai manakala perkembangan ilmiah ini semakin memperkuat nash-nash yang menjadi pijakan. Yang pada akhirnya menghantarkan keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.

Islam menuntut umatnya untuk senantiasa memperbaharui ilmu dengan mencari dan mencari, meski ke tempat yang jauh. Sebagai bukti keperluan yang asasiyat dalam mengarungi hidup umat manusia. Imam Malik r.a. mengingatkan murid-muridnya dengan kata-katanya: ‘Al Ilmu yu’ta wa laa ya’ti, ilmu itu didatangi bukan mendatangi’. Ilmu merupakan hajat bagi perkembangan manusia dalam menaklukan alam semesta. Yang sebabnya alam ini tertundukkan untuk kemashlahatannya. Dengan ilmu kemudahan dan kelancaran hidup ini dapat diraih. Sehingga Rasulullah saw. menyamakan orang yang menuntut ilmu dengan mereka yang sedang berjuang. Bahkan selama perjalanannya untuk meraih ilmu pun dianggap sebagai perjalanan dalam perjuangan.

Oleh karena itu Allah swt. membedakan orang yang berilmu dengan mereka yang tidak berilmu. Pembedaan tersebut adalah hal yang wajar. Sebab ilmu yang dimiliki seseorang atau sebuah komunitas dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Seperti firman Allah swt. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Az-Zumar: 9).

3. Peningkatan Ibadah

Perhatian Islam pada aspek ibadah yang dilakukan seorang mukmin juga amat besar. Ibadah yang dilakukan seorang mukmin harus meningkat secara kualitas dan kuantitas. Maka dengan itu orang yang beriman akan selalu berghairah dalam hidup dan bergeliat untuk menjalaninya. Kualitas dan kuantitas ibadah seorang mukmin sangat mempengaruhi kondisi jiwanya. Ketenangan dan kenyamanan hidup adalah buah yang selalu dipetik orang beriman lantaran ibadahnya. Dan yang lebih diutamakan dari peningkatan ibadahnya adalah pengaruh nilai hidup yang mereka dijalani dengan istiqamah dan loyal pada ajaran Allah swt. Yang karenanya Islam meyerukan agar mempertahankan kualitas dan kuantitas ibadahnya.

Ibadah yang telah ditetapkan dengan masing-masing aturan tentu mempunyai fungsinya masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ibadah wajib mempunyai fungsinya yang tak dapat digantikan dengan ibadah sunnah. Begitu pula dari ibadah sunnah yang beragam tidak dapat digantikan dengan yang lainnya. Karenanya orang beriman bersegera untuk selalu menunaikan ibadah dengan peningkatan kualitas dan kuantitasnya.

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. (Al-Anbiyaa’: 90)

Generasi para sahabat yang semoga Allah swt. memuliakan mereka dan meridhainya telah memberikan keteladanan dalam bersegera melakukan ibadah serta meningkatkan kualitasdan kuantitas ibadahnya. Lebih-lebih pada momen yang amat berharga semisal Rajab, Sya’ban, Ramadhan, dan Dzulhijjah. Mereka ingin mengukir kehidupannya dengan amal unggulan yang dapat menghantarkan dirinya meraih syura dan ridha-Nya. Sebab momen mahal itu mempunyai nilai istimewa dalam pandangan Allah swt.

Tidak mengherankan bila dikalangan para sahabat terjadi kompetitif dalam ibadah setiap harinya. Dalam pikiran mereka, jika dia dapat menunaikan sekian kali di hari ini maka besok saya harus lebih baik darinya. Bila hari ini dia menempati peringkat pertama dalam ibadah ini maka besok saya akan menduduki peringkat tersebut. Sebagaimana Umar ibnul Khaththab r.a. ingin mengalahkan kemampuan berinfaqnya Abu Bakar As Shiddiq r.a. Namun ternyata pada esok harinya Abu Bakar melebih target yang dicanangkan Umar.

4. Peningkatan Akhlak

Akhlak merupakan identitas keimanan dan menjadi simbol dari keyakinan jiwa. Sebab akhlak adalah tampilan luar dari iman. Apa yang dilakukan oleh anggota badan ini menjadi sinyal dari keimanan yang bersemayam di lubuk yang dalam. Itu pula yang dianggap bahwa semakin sempurna keimanannya semakin baik pula tampilan akhlaknya. Seperti sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kesempurnaan iman seorang mukmin maka semakin baik akhlaknya.”

Begitu besarnya korelasi iman dan akhlak sehingga akhlak mendapatkan tempat tersendiri dalam ajaran Islam sebagai misi dakwah ini. Ini pun berkaitan dengan perkembangan waktu. Bila kita perhatikan perjalanan dakwah Islam memperjelas pernyataan tersebut. Pada awal dakwah perbuatan yang acap dilakukan masyarakat luas belum disentuh. Namun ketika dakwah ini mulai menguat segala perbuatan negatif yang dilakukan orang-orang itu dipersempit ruang geraknya meskipun perbuatan itu budaya dan tradisi mereka. Yang akhirnya mereka meninggalkannya tanpa harus dikekang.

Said ibnul Musayyab Rahimahullah mengajarkan muridnya akan penempaan akhlak pada keluarga secara bertahap. Dan tahapan yang bakal dilalui diberikan bobot yang lebih dari waktu ke waktu. Seperti nasihat Ustadz Nashih Ulwan dalam Tarbiyatul Awlad, agar pembobotan nilai dan norma yang diberikan kepada anak manusia semakin meningkat. Agar kualitas mereka dengan perilaku yang nampak semakin memberikan arti integritas bagi dirinya. Sehingga peningkatan dan pemuliaan akhlak yang dilakukan umat ini bisa mengokohkan eksistensi umat ini. Sebab hubungan antara akhlak umat dan eksistensinya juga amat erat. Seperti Allah swt. mengakui keberadaan dakwah ini melalui akhlak pengembannya. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Al-Qalam: 4)

5. Kegiatan Masyarakat

Kepedulian Islam terhadap aktivitas masyarakat sangat besar. Dari level yang tinggi hingga pada level yang rendah. Dari yang bisa dijangkau oleh akal maupun yang tidak. Doktrin yang dibangun pada jiwa umatnya ialah manusia yang paling baik adalah mereka yang bermanfaat pada banyak orang. Sehingga keberadaan antara satu dengan lainnya saling berhubungan. Malah saling mempengaruhi dan membutuhkan serta saling melengkapi. Yang menjadikan kehidupan umat manusia ini bagaikan satu bangunan kokoh yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Semua komponen masyarakat ini hidup untuk kepentingan bersama. Bentuk kebutuhan akan kesertaan yang lain dalam dinamika aktivitas masyarakat adalah saling tolong menolong sesama mereka.

Tolong menolong adalah karakter hidup umat manusia ini. Akan keringlah jiwa manusia kala ia hidup tanpa kesertaan yang lainnya. Dan sangat tidak mungkin manusia menghindari kesertaan yang lain dalam menjalani hidupnya. Diminta atau tidak keberadaan yang lain amat membantu menyelesaikan tugas hidup. Karenanya sosialisasi dalam hidup ini menjadi prinsipil. Kondisi bersosialisasi ini menjadi amat penting bagi jiwa manusia baik di kala sulit maupun mudah, di saat lapang maupun sempit. Orang bijak menyatakan apalah guna memiliki semua fasilitas hidup namun tidak ditemani seorang pun kawan.

“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (Al-Hujuraat: 10)

Perkembangan dalam aktivitas masyarakat ini sangat cepat. Sedikit terlewatkan kesempatan maka banyak yang membuat kita terputus informasi dan hubungan. Ini sebagai tanda dinamisnya kondisi masyrakat kita. Seorang teman berujar, sepekan saja kita tidak bermasyarakat maka kita perlu waktu yang cukup untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Bila tidak kita bagaikan orang bisu yang tak mampu berkata-kata. Karenanya Rasulullah saw. memotivasi umatnya agar berani dan punya kemauan untuk berinteraksi dengan masyrakat. ‘Orang mukmin yang bergaul dengan masyrakat lebih baik dri pada mukmin yang tidak mau bergaul asalkan dia bersabar’. (HR. Muslim)

6. Perluasan Dakwah

Islam menjadikan setiap orang sebagai pemimpin dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan umat ini. Sehingga terwujudnya masyarakat yang nyaman dalam menjalani hidup. Dan hal ini amat dipengaruhi oleh tegaknya dakwah dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Saling menasehati atas kebenaran dan kesabaran. Dengan demikian kondisi yang rusak, amoral dan kefasikan akan lenyap.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)

Untuk merealisasikan cita-cita umat ini menegakan dakwah juga diperlukan perluasan seiring perkembangan yang terjadi. Apalagi kefasikan dan kemungkaran juga mengalami perkembangan. Perkembangan dakwah ini dalam artian yang luas. Yakni perkembangan segmentasi, bentuk dan metodelogi serta perkembangan media dan structural dakwah. Sehingga dakwah dapat bertahan dan mewariskan kemashlahatan bagi generasi seterusnya.

7. Peningkatan Produktivitas

Produktivitas merupakan sebuah upaya melanggengkan diri. Dari produktivitas ini dapat memberikan faedah bagi diri dan orang lain. Karena itu Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bekerja dan memakan hasil jerih payahnya sendiri. Islam tidak menyetujui umatnya tidak bekerja alias nganggur. Juga tidak membenarkan tergantung pada orang lain, meminta-minta dan menyusahkan hidup orang lain.

Bekerja yang diajarkan Islam bekerja secara seimbang antara dunia dan akhirat. Agar dimensi hidup yang akan dijalani meraih kebaikan yang sesungguhnya. Sebab tidak sedikit orang yang mendapatkan kebahagian semu. Ia mendapatkan kelimpahan dunia namun miskin dan sesak jiwanya karena tidak ada upaya untuk akhiratnya. Dan bagi orang mukmin kerja dunia ini sangat mempengaruhi kondisi akhiratnya.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al-Qashash: 77)

Ibrahim bin Adham memarahi muridnya yang mengambil sikap dari kondisi burung yang patah sayap dan kakinya dengan mengandalkan bantuan burung-burung lain. Namun beliau mengingatkan justru harusnya mengambil sikap dari burung-burung yang membantu itu. Ketika ia mencari karunia Tuhan namun ia tak pernah melupakan ada burung lain yang tak berdaya mencarinya sehingga perlu disisihkan untuknya.

8. Perkembangan Industri

Sesungguhnya kaedah mengambil semua sebab kekuatan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah kewajiban untuk mengambil semua unsur yang menguatkan perindustrian dalam semua bidang. Yang akan memberikan kebaikan kepada umat manusia dan bukan menghancurkannya atau merusaknya. Yang disebabkan salah penggunaannya. Atau produksi yang berlebihan yang menimbulkan menumpuknya limbah dan pencemaran lingkungan. Ini tentu sangat mengancam ekosistem hidup termasuk pada kehidupan umat manusia. Kehancuran alam raya karena tragedi pencemaran lingkungan.

“Sesungguhnya Kai telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hadiid: 25)

Ayat di atas menegaskan bahwa umat ini memerlukan perkembangan industri yang dinyatakan dengan kata ‘hadid’ yang berarti besi. Ia adalah lambing industri pada masa yang lalu. Namun yang harus dicamkan adalah penggunaan besi tersebut untuk kemajuan dakwah dan kehidupan manusia. Tentu dengan maraknya perkembangan industri yang terjadi. Dengan semakin pesatnya perkembangan industri ternyata dapat membawa kemajuan sebuah peradaban. Seperti yang dialami Eropa pada masa kebangkitan industri, renaissance. Mereka bangsa Eropa berjaya di hadapan bangsa-bangsa yang lain setelah keterpurukannya.

9. Perkembangan Manajemen

Islam merupakan sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek hidup. Sistem merupakan dasar menuju kesuksesan yang berkualitas, hasil dari amal dan akhlak yang baik sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah menyukai salah seorang dari kamu yang jika bekerja ia kerjakan secara itqan (professional).” Arahan itu untuk meningkatkan taraf kinerja kaum muslimin. Agar mereka berbuat tidak asal-asalan. Melainkan dikerjakan dengan pola yang bagus. Karena profesionalisme dalam perkembangan zaman ini memberikan kemudahan dan kesuksesan.

Masalah profesionalisme dari penataan manajemen yang baik dan teratur bermula dari penciptaan makhluk-makhluk Allah swt. Semua ciptaan-Nya tidak ada yang cacat cela. Ciptaan Allah swt. nampak indah, teratur dan tertata sesuai dengan ketentuan. Bila diamati dengan seksama memang tidak dapat ditemukan sesuatu yang cela atau dengan penilaian buruk. Melalui penciptaan ini ilmu manajemen semakin berkembang. Agar manusia dapat bercermin darinya untuk menyelesaikan beragam qadhiyahnya dan menyikapinya dengan benar. Sebut saja misalnya ilmu manajemen tentang teori 6 topi. Teori ini untuk melihat sesuatu dengan 6 sudut pandang sehingga kita dapat menemukan kebaikan darinya dan yang terpenting dapat menyikapinya.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah”. (Al-Mulk: 3-4)

Pengembangan dan pertumbuhan sebagaimana istilah tanmiyah ini untuk dapat diberdayakan bagi kemashlahatan umat ini (Al Istifadah). Disamping itu juga untuk memakmurkan alam raya ini sehingga tanmiyah itu betul-betul menyemarakkannya (At Ta’mir). Dan yang utama adalah pengembangan ini untuk memimpin dunia ini sehingga perjalanan yang sedang ditempuh dunia ini perjalanan menuju keselamatan dan kesejahteraan (Al Istikhlaf).

Tentu yang perlu ditimbang-timbang adalah tanmiyah ini dalam tarbiyah yang sedang kita jalan harus mengarah pada penegakkan dakwah sehingga tidak ada lagi fitnah di muka bumi ini (Iqamatud Da’wah). Maka yang perlu diingat dai adalah bila tidak ada tanmiyah dalam diri Anda, maka yang akan Anda rasakan adalah kejumudan. Bersiaplah menyambutnya untuk segera mati dan binasa. Maukah?

http://www.dakwatuna.com

3/12/2007 | 24/Dzulqaidah/1428 H | Hits: 108

Dan Berkurbanlah

Oleh: Ulis Tofa, Lc

Syariat berkurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena berkurban mulai diperintahkan saat Nabiyuallah Adam alaihissalam tidak menemukan cara yang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan kurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berkurban dengan ternaknya –unta- dan Qabil berkurban dengan tanamannya –gandum-.

Sampai disini Allah swt sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan kurbannya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berkurban, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.

Syariat berkurban dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (34)

“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34

Peristiwa berkurban paling fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah, Ibrahim Alaihissalam. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya, Isma’il alaihissalam. Ujian berat menyergapnya, antara melaksanakan perintah Allah swt atau membiarkan hidup putranya dengan tidak melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti akan melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Bisa menjadi pembelaan diri dan pembenaran pilihan.

Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.”

Rangkaian kisah hebat itu Allah swt rekam dalam Al Qur’an,

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian. (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” QS. As Shoffat : 100-110

Nikmat Allah

Syariat itu kembali diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad saw dan kita sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al Kautsar : 1-3

“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

Sebelum Allah swt memerintahkan berkurban, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga kautsar di surga.

Kalau kita mencoba merenung, nikmat Allah swt yang besar adalah nikmat diciptakanya kita sebagai manusia. Makhluk Allah swt yang paling mulya dan paling baik bentuknya, “ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” QS. At Tiin : 4

Nikmat menjadi peran khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” QS. Al Baqarah : 30

Nikmat anggota badan yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” QS. Adz Dzariyat : 21

Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,

”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” QS. Al Ma’idah : 3

Hakekat Berkurban

Setelah Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha dan berkurban sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.

Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berkurban dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).

Berkurban tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan kurban, namun lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya.

Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan dengan baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.

Berkurban adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban.


Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah berkurban itu, ia malah melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah Allah swt dengan kemauannya sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah letak permasalahannya: ia tidak percaya perintah Allah swt.?


Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.

Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan ilmunya. Pengusaha ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.


Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.

Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah.


Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,

”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al Hajj : 37.

Dan berkurbanlah. Kurban menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi beban dan keterpaksaan. Karena memang kurban tidak sekedar memotong hewan. Allahu A’lam.

Pasted from <http://www.dakwatuna.com/index.php/sunnah-nabawiyah/2007/dan-berkurbanlah/>


Klik tertinggi

  • Tidak ada

Flickr Photos

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Komentar Terbaru

novianto pada CAPRES PRO UN
Kreatif Web pada Guru Makin Sejahtera Animo Jad…
Siwa pada GAJI GURU PNS
Anonymous pada GAJI GURU PNS
yd.i pada GAJI GURU PNS

Blog Stats

  • 44.287 hits